Oleh: Saikhul Hadi, S.Ag Penyuluh Agama Islam Kabupaten Mojokerto, Alumni Kelas Online HAM dan Gender
Pendahuluan
Relasi antara Hak Asasi Manusia (HAM) dan Islam sering kali menjadi perdebatan. Pendapat yang berkembang dalam masyarakat dapat dikelompokkan menjadi tiga: konservatif, liberal, dan pragmatis. Kelompok konservatif menolak konsep HAM karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam, sementara kelompok liberal menerima HAM sebagai produk modernitas yang perlu diadopsi. Kelompok pragmatis cenderung mengambil jalan tengah, menerima konsep HAM jika dirasa menguntungkan.
Di tengah dinamika ini, penyuluh agama Islam berada di posisi strategis untuk menjembatani pemahaman HAM di masyarakat. Artikel ini membahas tantangan yang dihadapi penyuluh agama Islam dalam memadukan nilai-nilai HAM dengan ajaran Islam serta peran strategis mereka dalam implementasi HAM di masyarakat.
Tugas dan Fungsi Penyuluh Agama Islam
Penyuluh agama Islam memiliki empat fungsi utama yang saling berkaitan. Pertama adalah fungsi informatif dan edukatif, yaitu menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat dengan pendekatan yang mendidik. Selanjutnya adalah fungsi konsultatif, di mana penyuluh agama memberikan solusi atas persoalan-persoalan keagamaan yang dihadapi masyarakat. Fungsi ketiga adalah advokatif, yakni membela masyarakat dari ancaman, baik fisik maupun non-fisik, seperti konflik pendirian rumah ibadah. Terakhir adalah fungsi administratif, yang mencakup pendokumentasian semua kegiatan untuk pelaporan kepada atasan.
Dengan peran ini, penyuluh agama Islam menjadi ujung tombak dalam menyelesaikan problematika sosial di masyarakat. Peran mereka tidak hanya terbatas pada urusan keagamaan, tetapi juga mencakup isu-isu sosial yang kompleks, termasuk HAM.
Peran Strategis Penyuluh Agama Islam dalam Implementasi HAM
Konsep HAM sering kali dianggap rumit dan tidak relevan oleh masyarakat awam. Namun, penyuluh agama Islam memiliki peluang besar untuk menyederhanakan konsep ini dan mengintegrasikannya dengan ajaran Islam. Beberapa tantangan yang perlu diatasi meliputi:
1. Paradigma Konservatif terhadap HAM
Banyak penyuluh agama Islam yang masih terjebak dalam paradigma konservatif yang memandang HAM sebagai produk Barat yang bertentangan dengan Islam. Misalnya, praktik perkawinan anak sering kali didukung dengan alasan agama, meskipun berdampak negatif pada kesehatan, pendidikan, dan mental anak. Penyuluh agama Islam perlu memahami bahwa nilai-nilai HAM, seperti hak atas pendidikan dan perlindungan, sejalan dengan ajaran Islam.
Dalam studi modern, pakar seperti John Witte Jr. dalam bukunya “Islam and Human Rights” menjelaskan bahwa nilai-nilai HAM dapat ditemukan dalam berbagai tradisi agama, termasuk Islam. Witte mengemukakan bahwa prinsip-prinsip HAM seperti kesetaraan gender dan kebebasan beragama telah memiliki landasan teologis dalam Islam, khususnya melalui Piagam Madinah, yang dianggap sebagai salah satu dokumen pertama yang mengatur hubungan sosial berbasis hak dan kewajiban bersama tanpa diskriminasi. Ia juga mencatat bahwa pendekatan inklusif dalam Islam dapat menjadi model bagi negara-negara multikultural untuk mempromosikan toleransi dan hak asasi manusia.
Selain itu, Ann Elizabeth Mayer dalam “Islam and Human Rights: Tradition and Politics” berargumen bahwa doktrin Islam dapat selaras dengan prinsip HAM ketika ditafsirkan secara progresif dan kontekstual. Mayer menunjukkan bahwa interpretasi konservatif sering kali menghambat penerapan HAM, tetapi pendekatan kontekstual dapat membuka jalan untuk reformasi hukum Islam, khususnya dalam isu-isu seperti hak perempuan, kebebasan berpendapat, dan keadilan sosial. Menurut Mayer, nilai-nilai universal HAM tidak hanya kompatibel dengan Islam tetapi juga dapat memperkaya ajaran Islam melalui dialog yang konstruktif.
Upaya untuk mengubah paradigma ini melibatkan peningkatan literasi penyuluh agama Islam melalui pelatihan, membaca literatur HAM, dan diskusi. Dengan wawasan yang lebih luas, mereka dapat menyampaikan nilai-nilai HAM yang terkandung dalam ajaran Islam, seperti yang tercermin dalam Piagam Madinah dan ayat-ayat Alquran tentang kesetaraan dan keadilan.
2. Zona Aman dalam Penyuluhan
Penyuluh agama Islam sering kali fokus pada isu keagamaan yang tradisional dan menghindari isu sosial yang dianggap di luar ranah agama, seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Padahal, nilai-nilai HAM, seperti kesetaraan gender, sangat relevan untuk membangun keluarga yang harmonis. Program bimbingan perkawinan (binwin) di KUA, misalnya, dapat dioptimalkan dengan materi yang mendorong kesalingan dalam hubungan suami-istri.
Dalam konteks fiqh, hubungan antara suami dan istri diatur dalam prinsip mubadalah (kesalingan), yang menjelaskan bahwa masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban yang setara. Hal ini dapat ditemukan dalam QS An-Nisa: 19, yang menganjurkan agar suami memperlakukan istri dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf). Konsep ini mendukung nilai HAM modern terkait kesetaraan gender dalam keluarga.
Solusi untuk Mengatasi Tantangan
Solusi untuk mengatasi tantangan ini mencakup beberapa langkah strategis. Salah satu langkah penting adalah peningkatan kapasitas penyuluh agama Islam melalui literasi yang lebih baik tentang HAM, termasuk mengikuti pelatihan, membaca jurnal, dan berdiskusi dengan para pakar. Selain itu, inovasi dalam program penyuluhan seperti bimbingan perkawinan (binwin) dapat dilakukan dengan merancangnya lebih interaktif dan relevan, melibatkan peserta secara aktif dengan pendekatan pedagogis yang menyenangkan. Langkah lainnya adalah kolaborasi dengan pemangku kepentingan, termasuk lembaga pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, untuk memperkuat peran penyuluh agama Islam dalam advokasi HAM.
Penutup
Penyuluh agama Islam memiliki peran strategis dalam menjembatani nilai-nilai HAM dengan ajaran Islam. Dengan mengatasi tantangan paradigma konservatif dan keluar dari zona aman, mereka dapat menjadi agen perubahan yang efektif dalam masyarakat. Nilai-nilai HAM yang sejalan dengan maqasid al-shariah dan konsep mubadalah memberikan dasar yang kuat untuk menyemai prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan dalam kehidupan bermasyarakat. Upaya ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera sesuai dengan nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan.
gambar ilustrasi oleh Mohammed Alim berjudul Indonesian Muslims Praying in Modern Mosque Interior yang diunduh dari laman https://www.pexels.com/photo/indonesian-muslims-praying-in-modern-mosque-interior-29832037/
Referensi
Mayer, A. E. (2007). Islam and Human Rights: Tradition and Politics (4th ed.). Boulder, CO: Westview Press.
Witte Jr., J. (2007). Islam and Human Rights. Grand Rapids, MI: William B. Eerdmans Publishing Company.