Who We Are

Sejak 2012 kami mengembangkan program yang bertujuan untuk menyebarluaskan HAM khususnya terkait keragaman beragama dan kesetaraan gender, kepada masyarakat luas.

Keprihatinan mendalam kami terhadap fakta bahwa HAM masih belum dipahami secara baik oleh masyarakat, dan bahkan mendapat penolakan dari sebagian mereka, menjadi faktor utama yang menggerakkan kami untuk menjalankan program ini. Apalagi pasca-Reformasi berbagai kasus kekerasan dan konflik bernuansa agama meletus di berbagai provinsi Indonesia, merenggut banyak korban nyawa, harta benda dan lainnya. Fenomena ini terjadi persis ketika konservatisme, intoleransi dan radikalisme menguat di kalangan masyarakat. Saat yang sama, berbagai persoalan yang menyangkut hak-hak perempuan dan anak masih saja bermunculan, menimbulkan keprihatinan lain tentang komitmen kita bersama dalam mengawal kesetaraan gender dan perlindungan terhadap anak-anak.

Mitra yang kami gandeng untuk menggerakkan program ini adalah para pejabat dan fungsionaris Kantor Urusan Agama (KUA), yang menjalankan fungsi bukan saja sebagai pegawai pencatat nikah tetapi juga penyuluh agama yang langsung berhubungan dengan masyarakat luas. Mereka merupakan simpul penting yang memainkan peran sebagai intermediate actors yang dapat mengomunikasikan gagasan-gagasan besar ataupun kebijakan-kebijakan pemerintah terkait agama kepada masyarakat dan sebaliknya merespons persoalan-persoalan nyata yang berkembang di masyarakat.

Kami terdorong bekerjasama mewujudkan program ini karena menyadari bahwa meskipun telah meraih berbagai kemajuan dalam kebebasan beragama dan kesetaraan gender seiring gelombang reformasi dan demokratisasi yang berlangsung sejak tumbangnya rezim Suharto pada 1998, Indonesia ternyata masih menghadapi berbagai masalah terkait tingginya angka intoleransi yang mengiringi banyaknya peristiwa ketegangan dan bahkan konflik antar-agama. Konflik-konflik tersebut bukan saja melibatkan antarpenganut agama berbeda, seperti di Ambon, Poso, Kalimantan Tengah dan Barat, tapi juga antar penganut aliran berbeda dalam satu agama. Kisah-kisah penyerangan berdarah terhadap minoritas Syiah dan Ahmadiyah di berbagai provinsi Indonesia menjadi warna yang cukup menonjol dalam dinamika hubungan agama di Indonesia dalam dua dekade terakhir.

Memang sudah banyak upaya dilakukan oleh berbagai LSM ataupun perguruan tinggi untuk membangun kesadaran masyarakat tentang HAM. Namun kami merasa upaya-upaya itu masihlah terkesan elitis dan belumlah mendatangkan hasil maksimal. Dalam program ini kami menawarkan pendekatan baru, yaitu dengan mengunakan istilah-istilah, wacana, dan filosofi yang berkembang dalam fikih untuk menunjukkan titik temu antara Islam dan HAM.

Dengan pendekatan Fikih, kami meyakini nilai-nilai dan prinsip-prinsip keragaman agama, kesetaraan gender dan HAM secara umum dapat lebih mudah dipahami masyarakat. Sekaligus kami juga bisa menjelaskan bahwa fikih, jika dipahami dengan baik, bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan HAM. Fikih merupakan hasil ijtihad para fukaha untuk memberikan kerangka normatif bagi prilaku dan tindakan umat Islam, yang secara esensial bermuara pada perwujudan maqasid al-shari’a. Inti dasar maqasid al-shari’a tidak lain adalah perlindungan dan perhormatan terhadap hak-hak asasi manusia.

Program ini telah menghasilkan 4 modul dan buku serta puluhan kegiatan pelatihan. Modul Pelatihan Fikih dan HAM (2013) merupakan produk pertama dari program ini yang berupaya memberikan pengetahuan dasar tentang kompatabilitas Islam dan HAM, yang penulisannya melibatkan para dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Pelatihan-pelatihan yang kami kembangkan menggunakan modul ini menyadarkan kami bahwa para pejabat dan fungsionaris KUA sebenarnya memiliki pengetahuan yang sangat luas terutama mengenai berbagai problem konversi agama, perkawinan, dan hak asuh anak yang muncul di masyarakat dan tidak bisa dipisahkan dari isu HAM. Mereka bahkan terlibat aktif dalam penyelesaian masalah- masalah semacam konversi agama, perkawinan di bawah umur, nikah beda agama, poligami, perwalian, hak asuh anak dan lain sebagainya.


Kami merasa bahwa pengalaman genuine mereka dalam menangani dan menyelesaikan masalah-masalah semacam itu patut ditulis dan dibukukan untuk disebarluaskan kepada masyarakat luas. Dari sinilah lahir buku kedua, Fikih dan HAM: Best Practices Pengarusutamaan Hak Asasi Manusia dalam Kebebasan Beragama, Gender, dan Hak Anak di Lingkungan Kantor Urusan Agama (KUA) (2019).


Jika di tahun pertama dan kedua para penulis modul, yang sebagian besar merupakan dosen, bertindak sebagai mentor dan instruktor yang mengawal para peserta pelatihan memahami isi modul dan mengembangkan wawasan mereka terkait kebebasan beragama dan HAM. Di tahun-tahun berikutnya, para pegawai KUA sendiri lah yang bertindak sebagai mentor dan instruktor untuk melatih kolega-kolega mereka sesama pegawai KUA. Apa yang disebut in-house training ini berhasil dilaksanakan di berbagai KUA di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah.


Kegiatan pelatihan terus berkembang. Ketika memasuki masa pandemi Covid-19, cakupannya bahkan meluas ke luar kedua provinsi tersebut dengan menggunakan platform Zoom dan mewdia digital lainnya. Hal ini mengiringi lahirnya buku ketiga, Membela Hak-hak Masyarakat Rentan: HAM, Keragaman Agama dan Isu-isu Keluarga (2021). Bab-bab dalam buku ini pada dasarnya memperlihatkan concern mendalam, kegelisahan, pengalaman dan refleksi akademik para penulis terhadap persoalan-persoalan yang masih berkembang di masyarakat seputar kesulitan yang dialami kelompok-kelompok rentan dan minoritas mendapatkan hak-hak dasar mereka.


Semangat dari kolega-kolega dosen, pegawai KUA, peneliti, dan mahasiswa untuk terlibat memikirkan isu ini terus tumbuh, seiring tersebarnya buku-buku tersebut dan makin intensifnya pelatihan-pelatihan yang kami adakan. Melalui call for papers, kami mengundang mereka untuk ikut berpartisipasi dalam workshop dan menyumbang tulisan yang relevan dengan tema yang kami angkat dalam program ini. Lahirlah kemudian buku keempat yang berjudul Fikih Humanis: Meneguhkan Keragaman, Membela Kesetaraan dan Kemanusiaan (2022). Buku ini memuat refleksi mendalam dari para penulis tentang berbagai persoalan yang masih menggelayuti hubungan antara Islam dan HAM serta berbagai hambatan penegakannya dalam masyarakat.
Program ini sudah berlangsung hampir satu dekade. Tentu saja banyak pihak berdiri di balik kesuksesannya. Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga dan kemudian Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga memberikan payung kelembagaan yang memungkinkan program ini berjalan dengan baik. Kolega-kolega dosen di UIN Sunan Kalijaga, khususnya Fakultas Syariah dan Hukum dan Pascasarjana, teman-teman KUA, peneliti dan mahasiswa berperan penting dalam menjalankan program ini sejak awal. Secara birokratis program ini juga mendapat dukungan dari Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag RI. Pada 2019, Dirjen Bimas Islam ketika itu, Prof Muhammadiyah Amin, hadir memberikan keynote speech dalam Seminar on Educating and Promoting Human Right in The Local Office of Religious Affairs (KUA): Challenges and Prospects di Gedung Auditorium UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Dalam sambutannya, Dirjen Bimas Islam sangat mengapresiasi program kerja sama ini dan berharap bisa memperluas cakupannya ke tingkat nasional. Dirjen Bimas Islam saat ini, Prof Kamaruddin Amin, juga memberikan dukungan maksimal dengan memberikan kalimat endorsement terhadap buku ketiga dan hadir secara virtual memberikan sambutan dalam peluncurannya yang diadakan di awal 2022. Tentu saja, dukungan penuh dari NCHR melalui Prof. Lena Larsen dan Prof. Nelly van Doorn-Harder patut diapresiasi. Sejak awal, mereka memberikan kepercayaan besar terhadap program ini dan tidak henti mengawalnya hingga hari ini.

Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga

Jl. Laksda Adisucipto No.1, Caturtunggal, Sleman, Yogyakarta

Kontak Kami

lazuardiinsani@gmail.com

+628970290090