Hisyam Fahmi
Bimas Islam-KUA Tebet Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan
Keberagaman merupakan aspek yang cukup kompleks dan tak terhindarkan dalam masyarakat modern. Di tengah keberagaman, hak-hak minoritas muncul sebagai isu yang memerlukan perhatian serius, termasuk dari perspektif hukum pidana. Indonesia sebagai negara dengan keragaman agama dan kepercayaan yang majemuk, baru-baru ini menyaksikan perubahan penting dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Perubahan KUHP terutama terkait dengan Pasal Agama dan Kepercayaan (Pasal 300-305), secara sekilas memang terlihat sebagai langkah positif menuju perlindungan hak- hak minoritas. Namun, kemudian muncul pertanyaan yang mendasar: Apakah pasal mengenai tindak pidana Agama dan kepercayaan dalam KUHP baru benar-benar mencerminkan upaya melindungi minoritas? ataukah masih tetap terjerat dalam jaringan mayoritarianisme?
Pada dasarnya, pasal ini dibuat untuk melindungi nilai-nilai agama dan kepercayaan tanpa menghambat kebebasan berpendapat dan berekspresi. Menurut religionschutz-theorie, agama dianggap sebagai kepentingan hukum yang wajib dilindungi oleh negara. Artinya, agama dianggap sebagai suatu kepentingan hukum atau objek yang harus mendapatkan perlindungan atau dianggap perlu untuk dilindungi oleh negara. Salah satunya melalui pembentukan peraturan perundang-undangan.
Pengaturan tersebut tidak berarti menunjukkan negara ikut campur tangan dalam urusan kebebasan beragama. Akan tetapi peraturan ini merupakan langkah antisipatif sekaligus represif terhadap tindakan permusuhan terhadap agama. Permusuhan yang hanya akan mencederai kebebasan beragama yang dimaksudkan dalam Pancasila.
Dalam praktiknya, seharusnya masyarakat tanpa ragu untuk mengakui keberagaman agama dan kepercayaan karena memang sudah dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Akan tetapi, salah satu aspek penting yang menjadi sorotan adalah ketentuan-ketentuan baru dalam KUHP yang seharusnya melindungi hak kebebasan beragama. Ada perubahan yang signifikan jika melihat judul bab pada pasal tersebut. Bukan hanya agama yang dibahas, tetapi juga kepercayaan. Pertanyaannya apakah implementasi sebenarnya dari ketentuan ini akan membawa perlindungan yang nyata bagi minoritas? atau malah memudahkan mayoritas untuk mengontrol dan menormakan keyakinan yang berbeda?
Masih Problematik
Pertimbangan lebih dalam terhadap Pasal Agama dan kepercayaan yang baru mencakup beberapa aspek. Pertama, pasal-pasal ini mencoba untuk mendefinisikan kembali batas antara kebebasan beragama dan penghinaan terhadap agama. Bagaimana seharusnya pernyataan kritis terhadap suatu agama diukur? Di tengah masyarakat yang begitu beragam, risiko penggunaan Pasal Agama ini sebagai alat untuk membungkam suara-suara minoritas tidak dapat diabaikan.
Selain itu, terdapat ketentuan-ketentuan yang seharusnya mencegah diskriminasi berbasis agama. Namun, pada praktiknya dampak dari ketentuan tersebut masih harus diuji. Tidak dapat dipungkiri dalam negara dengan mayoritas agama tertentu, ada risiko bahwa Pasal Tindak Pidana Agama dan Kepercayaan dalam KUHP baru bisa disalahgunakan sebagai alat untuk memperkuat dominasi kelompok mayoritas.
Ketika hukum yang seharusnya melindungi minoritas dapat diarahkan untuk memenuhi tujuan mayoritas, prinsip keadilan dan kesetaraan dapat terancam. Jangan sampai jika praktik keagamaan yang dilakukan agama minoritas atau kepercayaan tertentu malah dianggap sebagai penodaan agama.
Bagaimana Dunia Melihat Isu Penodaan Agama?
Peraturan terkait penodaan agama di seluruh dunia menunjukkan keragaman. Beberapa negara memberlakukan hukuman yang berat, sementara yang lain memiliki pendekatan yang lebih ringan. Pakistan, negara republik dengan dasar hukum Islam, menerapkan undang-undang penistaan yang dianggap sebagai yang paling ketat. Tidak hanya di kalangan negara-negara mayoritas penduduk Muslim, tetapi juga di seluruh dunia.
Meskipun mendapat kritik dari dalam dan luar negeri, undang-undang tersebut tetap berlaku dan terus menghadirkan situasi penyalahgunaan. Kekerasan, kegagalan dalam penegakan hukum, dan fanatisme yang berlebihan telah menyebabkan polarisasi. Dampaknya, undang-undang kontroversial ini menciptakan suasana ketakutan, ketidakpercayaan, intimidasi, ketidakpastian hukum, dan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hukum. Bahkan, dalam beberapa kasus, tuduhan penodaan agama seringkali digunakan untuk kepentingan yang sama sekali tidak terkait dengan penodaan agama.
Pada pertengahan April 2017 kemarin misalnya. Seorang mahasiswa Muslim berusia 23 tahun bernama Mashal Khan menjadi korban serangan kejam. Ia harus ditembak mati hanya dengan dalih bahwa dia telah melecehkan Islam. Penting untuk dicatat bahwa sebelum kematian tragisnya, mahasiswa tersebut dikenal karena sikapnya yang kritis terhadap praktik korupsi dan perlawanan terhadap ketidakadilan.
Menurut perspektif sosiologi, dampak modernitas dapat mengakibatkan peningkatan sekularisasi dan privatisasi agama. Hal ini menyebabkan agama secara bertahap kehilangan relevansi dan pengaruhnya dalam kerangka sosial masyarakat modern.
Luhmann melalui analisisnya, menjelaskan bahwa dalam kondisi modernitas, peran agama semakin tidak relevan dan kehilangan pengaruhnya di ranah publik. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dalam masyarakat modern, sikap terhadap penodaan agama cenderung kurang ketat. Australia misalnya. Di Negeri Kanguru ini jarang terjadi kasus penodaan agama, baik yang berkaitan dengan Islam maupun Kristen.
Indonesia dan Pasal Penodaan Agama
Melihat kondisi demikian, lantas bagaimana Indonesia melihat isu penodaan agama? Hal tersebut mengingat bahwa Indonesia mempunyai sistem hukum campuran yang mencampurkan unsur-unsur hukum adat, hukum Islam dan hukum barat. Jika menilik pada catatan sejarah, undang-undang pertama yang mengatur tentang penodaan agama dapat ditemui dalam Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS Tahun 1965 mengenai Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama.
Selanjutnya, aturan ini menambahkan Pasal 156a KUHP sebagai landasan hukuman bagi pelaku tindak pidana penodaan agama. Landasan pembentukan peraturan ini juga dilakukan untuk melindungi agama-agama dan kepentingan umat beragama. Sejak awal diberlakukannya undang-undang penodaan agama, telah terjadi lebih dari 200 kasus penodaan agama di Indonesia. Kasus- kasus tersebut melibatkan berbagai jenis pelanggaran, mulai dari penyimpangan agama hingga penodaan terhadap agama.
Pasal ini memiliki cakupan yang luas dalam mendefinisikan penodaan agama. Oleh karena itu diperlukan definisi yang lebih jelas untuk memahami dengan pasti apa yang dimaksud dengan penodaan agama. Pasal 156a KUHP memberikan konsep penodaan agama yang bersifat abstrak dan luas. Hal tersebut dapat menimbulkan adanya kecenderungan penggunaan pasal ini secara berlebihan dan memunculkan penafsiran yang ambigu terhadap masyarakat.
Tentu ini dapat membuat suatu perbuatan dianggap sebagai penodaan agama tanpa batasan yang jelas. Selain itu, pasal tersebut juga menghasilkan interpretasi yang tidak pasti dalam proses peradilan dan berdampak pada kepastian hukum masyarakat Indonesia.
Dalam konteks pasal yang berkaitan dengan unsur penodaan, seharusnya penilaian tidak semata-mata didasarkan pada tindakan, ucapan, atau tulisan yang berbeda dari ajaran yang umumnya diterima oleh masyarakat. Namun, penilaian seharusnya lebih berfokus pada sesuatu yang secara eksplisit mengandung perbuatan yang bersifat menghina secara objektif. Tidak berhenti di situ, orang awam juga harus paham bahwa kata-kata atau perbuatan yang dimaksudkan tersebut bertujuan untuk menyinggung perasaan pengikut agama yang bersangkutan.
Untuk membuktikan apakah perbuatan atau perkataan pelaku bersifat menghina atau merendahkan suatu agama, alat ukur yang digunakan seharusnya bukanlah ahli, tetapi pandangan umum dan persepsi orang awam. Pemahaman terhadap hak asasi manusia, kebebasan beragama, dan nilai-nilai toleransi harusnya menjadi fokus utama ketika menginterpretasikan kasus penodaan agama melalui Undang-Undang. Dengan demikian, rumusan hukum yang relevan dan adil pun dapat diaplikasikan.
Harapannya, perubahan tersebut tidak hanya mencerminkan perubahan dalam norma sosial. Namun, juga merupakan respons terhadap tuntutan untuk melindungi hak individu dan masyarakat. Jaminan terhadap hak untuk menjalankan keyakinan agama atau kepercayaan tanpa dihantui rasa takut pun dapat diterapkan.
Memang potret Pasal Agama dan kepercayaan dalam KUHP baru menciptakan dua wajah yang berlawanan: satu yang menjanjikan perlindungan bagi hak-hak minoritas, dan satu yang memunculkan kekhawatiran akan tetapnya mayoritarianisme dalam sistem hukum. Oleh karena itu, diperlukan pemantauan yang cermat dan analisis mendalam untuk memastikan bahwa perubahan ini benar-benar memberikan perlindungan hak-hak minoritas, bukan malah menyulut ketidaksetaraan. Hanya dengan pemahaman yang mendalam dan partisipasi aktif masyarakat, dapat dipastikan bahwa Pasal Tindak Pidana Agama dan Kepercayaan dalam KUHP baru benar-benar mencerminkan semangat keadilan dan pluralisme yang diharapkan dalam masyarakat yang beragam.
illustrasi oleh Abdullah Ghatasheh berjudul Grayscale Photography of Dome Building diunduh dari https://www.pexels.com/photo/grayscale-photography-of-dome-building-1827943/