Eksekusi Murtad: Desersi dan Konversi Agama?
Konversi agama di Indonesia merupakan isu yang sensitif. Terlebih, jika yang berpindah agama merupakan tokoh publik yang populer di masyarakat. Tindakan konversi agama dari Islam ke non-Islam memiliki motif dan alasan yang berbeda-beda. Ada yang konversi agama karena pernikahan, kemiskinan, atau alasan personal yang bersifat spiritual seperti skeptis terhadap keyakinan sebelumnya sehingga memilih ke agama lain dan keluar dari Islam sebagai jalan hidupnya.
Dalam literatur Islam, semisal buku-buku fikih klasik abad pertengahan, diskursus riddah mendapat perhatian dari kalangan fukaha. Tidak heran, jika di dalam bab-bab fikih telah diuraikan seputar hukum riddah dan implikasinya panjang lebar dalam hukum pidana Islam. Bahkan, sebagian fukaha menegaskan bahwa hukuman bagi pelaku konversi agama (keluar dari Islam) adalah hukuman mati (qatl al-murtad). Sementara fukaha lainnya berpendapat lebih humanis, karena mereka berargumen bahwa seluruh orang murtad justru harusnya dibujuk masuk kembali Islam, bukan dieksekusi mati.
Bagaimana sikap Nabi Muhammad terhadap pelaku konversi agama (murtad)? Orang yang mengkonversi agamanya disebut murtad dalam bahasa agama. Dalam Islam konversi merupakan realitas sosial yang sudah terjadi sejak awal Islam didakwahkan. Bahkan, dalam sejarah Islam, gerakan murtad ini sudah terjadi di masa Rasulullah. Misalnya, pasca-peristiwa Isra dan Mi’raj Nabi, banyak para sahabat yang sebelumnya memeluk Islam, tetapi memilih murtad karena tidak percaya dengan peristiwa tersebut.
Hadis riwayat Aisyah dalam al-Mustadrak-nya al-Hakim disebutkan bahwa Aisyah berkata: “Ketika Nabi melakukan perjalanan malam ke masjid al-Aqsa, banyak orang yang tidak mempercayainya sehingga ada banyak orang yang telah telah beriman dan mempercayai Nabi sebelumnya menjadi murtad…”. (al-Hākim, 1984: Vol. III/62).
Riwayat lain, yang termuat dalam “Musnad” Imam Ahmad dan al-Nasa’i dalam al-Sunan al-Kubra-nya dari Ibnu Abbas juga menunjukkan substansi yang sama. Ia berkata, “Nabi melakukan Isra Mi’raj ke Bait al-Maqdis kemudian pulang di malam yang sama dan menceritakan perjalanannya dan tanda-tanda Bait al-Maqdis beserta unta-untanya. Lalu banyak orang yang berkata: kami tidak mempercayai kata-kata Muhammad. Lalu mereka menjadi murtad dan kafir…”.
Ilustrasi Mikraj, Muhammad mengendarai burak. Karya Sultan Muhammad abad ke-16, disimpan di British Museum.
Beberapa keterangan di atas juga disebutkan oleh Imam al-Tabari dalam tafsirnya, Jami al-Bayan fi Ta’wil al- Qur’an, ketika al-Tabari menafsirkan QS. Al-Isra [17]: 60 yang juga meriwayatkan peristiwa banyaknya sahabat Nabi yang semula meyakini Islam kemudian menjadi murtad pasca-peristiwa Isra Mi’raj (Al-Thabari, 1983: VIII/76). Tidak hanya itu, kitab-kitab Sirah Nabi juga menyebutkan dua sahabat yang murtad pasca-hijrah ke Habasyah: Ubaidillah bin Jahsy dan al-Sukran bin Amru. Ibnu Hisham meriwayatkan kisahnya dari Ibnu Ishak: “Ubaydullah bin Jahsy berhijrah ke Habasyah bersama orang-orang Muslim lainnya. Ia hijrah ke Habasyah juga bersama istrinya yang bernama Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Tatkala sampai di Habasyah, ia menganut agama Nasrani dan keluar dari agama Islam sampai wafat sebagai Nasrani di sana” (Ibn Hisham, 1994: I/260).
Informasi di atas juga diamini oleh Ibn Sa’ad dalam al-Tabaqat al-Kubra (Ibn Sa’ad, 1990: VIII/77), al-Balazari dalam Ansab al-Asyraf dan al-Jazari dalam Usd al- Ghabah fi Ma’rifat al-Sahabah (Al-Jazari, 1994: VII/116). Semua ahli sejarah ini sepakat mengenai murtadnya Ubaydullah bin Jahsy ini. Al-Balazari dalam kitabnya juga mengisahkan tentang murtadnya al-Sukran bin Amru. Al-Balazari menyebutkan: Al-Sukran pulang ke Mekkah lalu pulang lagi ke Habasyah dalam keadaan murtad atau menjadi Nasrani dan ia mati di sana…”. Riwayat al-Balazari ini dikuatkan oleh Ibn Sa’ad dalam al-Tabaqat al-Kubra dan al-Tabari dalam Tarikh al-Umam wa al-Muluk.
Pertanyaannya, apakah Nabi mengeksekusi mati sahabat yang murtad ketika itu? Tidak. Riwayat-riwayat tentang murtadnya dua sahabat Nabi yang disampaikan ahli sejarah tidak menunjukkan bahwa Nabi memerintahkan untuk membunuh kedua sahabat yang murtad tersebut. Menariknya, Nabi pun tidak pernah mengintimidasi orang-orang murtad untuk kembali ke Islam dan bahkan Nabi pun membiarkan kaum murtad tetap hidup, tidak dihukum mati.
Jika benar Nabi tidak pernah memerintahkan untuk mengeksekusi orang murtad ketika itu, mengapa Abdullah bin Khathal yang murtad justru dieksekusi mati oleh Said bin Huraits al-Makhzumi dan Abu Barzh al-Aslami di zaman Nabi? Nasib yang sama juga dialami Maqis bin Subābah al-Laitsi yang dieksekusi Numailah bin Abdullah atas perintah Nabi. Mari kita lacak kronologisnya.
Artikel ini merupakan bagian dari buku Keragaman beragama: Relasi Islam dan HAM bagian Mengakui Keragaman dan Menghargai Perbedaan Membaca Ulang Konsepsi Murtad dan Ahl- al-Zimmah yang ditulis oleh Moh Mufid
Gambar dalam artikel ini berjudul “Stairs in Mosque” yang diunduh di https://www.pexels.com/photo/stairs-in-mosque-16050646/
Karya Tugba