Pendahuluan
Pada 2021 lalu, kita dihebohkan dengan kabar konversi agama sang anak proklamator Republik Indonesia Soekarno, yakni Sukmawati Soekarno Putri, dari Islam menjadi pemeluk agama Hindu. Sukmawati pun telah menjalani prosesi ritual konversi agamanya pada 26 Oktober 2021, pukul 09.30 WITA yang bertempat di Sukarno Center Heritage, Bale Agung Singaraja, Buleleng, Bali (CNNIndonesia. com, 23/10/2021).
Di Indonesia, sebagai negara demokrasi, setiap warga negara diberikan kebebasan untuk memilih dan meyakini salah satu agama yang diakui oleh negara. Oleh karena itu, perpindahan agama dari satu agama ke agama yang lain yang didasari oleh kesadaran personal dan tanpa intervensi dari pihak manapun merupakan hak yang dijamin oleh negara bagi setiap individu warga negara.
Jika diamati, konversi agama tidak hanya dilakukan Sukmawati Soekarno Putri, tetapi para artis dan selebgram populer semisal Lukman Sardi, Asmiranda, Nita Gunawan, Salmafina Sunan dan lainnya juga memilih jalan hidup untuk berpindah agama dan keluar dari Islam. Mereka memiliki hak untuk memeluk keyakinan barunya sesuai dengan kemantapan hati dan keimanannya. Keputusan untuk berpindah agama merupakan kebebasan bagi warga negara sehingga tidak boleh diintervensi dari pihak manapun, termasuk intervensi dari negara sekalipun.
Dalam Islam, perpindahan agama atau konversi keyakinan ini disebut riddah. Istilah riddah berarti “kembali” (al-ruju) ke jalan semula. Dalam al-Qur’an, istilah riddah dan derivasinya digunakan untuk makna “kembali dari keimanan kepada kekufuran” yang dapat ditemukan dalam QS. Al-Baqarah [2]: 109 dan 217, QS Ali Imran [3]: 100, QS al-Maidah [5]: 54, QS al-An’am [6]: 71 dan QS Muhammad [47]: 25. Dalam konteks sanksi bagi pelaku riddah, al-Qur’an secara tegas menjelaskan tentang sanksi di akhirat, tetapi tidak secara eksplisit menjelaskan sanksi di dunia. Oleh sebab itu, para fukaha berbeda pendapat dalam menetapkan sanksi bagi murtad, apakah harus dieksekusi mati atau tidak?
Bab ini ingin menegaskan bahwa pemahaman terhadap kebebasan beragama sebagai hak mutlak bagi setiap individu meniscayakan adanya kebebasan untuk mempertahankan dan mengubah keyakinan sesuai dengan kemantapan hati dan keimanannya. Oleh karena itu, setiap individu berhak untuk menentukan pilihan jalan hidupnya antara beriman atau kufur sesuai dengan QS. Al-Isrā [18]: 29.
Artikel ini merupakan bagian dari buku Keragaman beragama: Relasi Islam dan HAM bagian Mengakui Keragaman dan Menghargai Perbedaan Membaca Ulang Konsepsi Murtad dan Ahl- al-Zimmah yang ditulis oleh Moh Mufid