MENCIPTAKAN KESADARAN KESETARAAN GENDER DALAM ISLAM: Langkah Nyata Melawan Dehumanisasi

Oleh: Riska Duduti, S.Sos.I, MH

Masalah kemanusiaan sampai saat ini masih menjadi topik yang hangat untuk perbincangkan. Adanya kemerosotan nilai-nilai kemanusiaan merupakan sasaran empuk yang sering dikuliti dalam dirkursus ini. Selain urgen, merosotnya nilai-nilai kemanusiaan akan memicu dampak yang lebih besar seperi adanya dehumanisasi.

Keadaan ini biasanya lahir dari pertikaian antara pemahaman dan tindakan subordinatif manusia terhadap manusia lainnya sebagai hasil dari kultur yang diyakini. Hal ini tergambar dalam diskurus gender, adanya ketimpangan gender merupakan bagian dari dehumanisasi yang terjadi pada kaum yang dianggap lemah.

Adanya hegemoni patriarki yang merasa bahwa dirinya lebih berkuasa, lebih unggul, dan lebih berhak dari pada yang lain merupakan mental yang telah lama mengakar pada diri manusia secara umum. Kondisi semacam ini sering kali terjadi terhadap pada perempuan, meski pada beberapa kasus juga dialami oleh laki-laki.

Tulisan ini merupakan bentuk ikhtiar untuk mereduksi kondisi di atas dan memperjuangankan kondisi yang memberikan keseimbangan dan membentuk kesadaran agar kedua belah pihak (kuat dan lemah) memiliki nilai dan tanggung jawab yang sama dalam kehidupan masyarakat.

Wacana tentang kesetaraan gender telah lama menjadi perbincangan di berbagai negara. Kurang lebih seabad lalu di Eropa, terjadi penuntutan ketimpangan yang dinahkodai oleh kaum perempuan sebagai bentuk tuntutan kesetaraan yang dikenal dengan gerakan feminisme. Selain itu, pada tahun 1990-an muncul gerakan-gerakan perempuan Muslim yang memperjuangankan hak-hak nya.  Sehingga lahirnya kebijakan-kebijakan pemerintah atas peran perempuan di ranah publik, terutama hak suara yang merata tanpa memandang indikasi seksualitasnya (Muqoyyidin, 2013). 

Lebih lanjut, tuntutan hak yang sama oleh gerakan feminisme di atas, berdampak pada wacana yang serius dalam menanggapi dehumanisasi atas dasar seksualitas. Gerakan feminisme cenderung memberi pemahaman lebih jauh kepada dunia terhadap hak perempuan yang sebelumnya tersubordinasi akibat konstruksi sosial (nurture). Sehingga, isu tentang kesetaraan gender menjadi bagian dari wacana anti dehumanisasi yang masuk dalam rumpun kajian sosial. Meskipun secara konsep, kajian gender memiliki dasar ideologi tersendiri untuk menegakan dan memelihara peran dan fungsi perempuan di ruang publik.

Kebijakan Publik Tentang Kesetaraan Gender 

Pada abad 18-19 di Amerika marginaliasai terhadap perempuan terus terjadi, suara perempuan hanya dianggap setara dengan suara budak dan anak-anak. Sehingga mereka tidak memiliki hak suara untuk memilih dalam urusan publik, bahkan tidak diperkenankan dalam mengurusi hal-hal yang bersifat politis (Acemoglu dan Robinson, 2017). Sehingga, hal tersebut menunjukan gambaran yang cukup berbeda dengan kondisi yang terjadi saat ini, kebijakan pemerintah saat ini telah memberikan ruang terhadap perempuan dalam berpolitik dan peranannya di dunia sosial. 

Situasi yang demikian ini, kemudian menjamur di negara-negara yang memiliki latar belakang yang sama termasuk di Indonesia. Setelah merdeka, pemerintah Indonesia membentuk kebijakan-kebijakan baru yang selaras dengan dasar negara, diantaranya adalah membuat peraturan mengenai perlindungan terhadap perempuan dan anak dan memberikan hak yang sama sebagai warga negara. Tidak membatasi wilayah gerak perempuan dan terus menggaungkan peran perempuan sebagai bagian dari kemajuan suatu negara (Kania, 2015). Meskipun terkadang, hukum yang dibuat masih memiliki celah terjadinya pemerosotan terhadap hak-hak perempuan sebagai bagian dari warga negara yang bebas. Oleh karena itu, rekonstruksi pemahaman dan penerapan hukum yang adil, masih terus diperbaiki guna mewujudkan pemerataan nilai-nilai kemanusian yang berkeadilan. 

Sehingga, perjuangan terhadap kesetaraan gender akan terus berlangsung selama masih terdapat penyimpangan, diskriminasi, dan subordinasi yang dialami sebagian besar kaum perempuan. Oleh karena itu, untuk membentuk kebijakan pemerintah yang objektif, tentu saja perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak, terutama adalah peran agama. Agama sebagai nilai universal, memiliki pengaruh besar untuk perubahan, pemaknaan terhadap naskah-naskah fundamental agama perlu diinterpretasi kembali untuk menemukan kemaslahatan bersama. Agama diyakini mampu membawa pada nilai-nilai keadilan yang objektif dan sejalan dengan tujuan undang-undang dan norma kemanusiaan yang berlaku.

Meminjam pendapat Ibnu Qoyyim al-Jauziyah (w. 1350 M) yang mengatakan bahwa tidak ada hukum yang menciptakan ketidakadilan, jika hal itu terjadi maka di dalamnya terdapat kekeliruan, sehingga perlu adanya pemaknaan guna menggiring manusia pada keadilan sesuai amanat Tuhan (Muhammad, 2022). Hal tersebut memberikan penegasan bahwa, antara konstitusi dan nilai-nilai agama harus berjalan beriringan, perlu pemaknaan, dan perlu penyesuaian yang nantinya menjadi dasar terciptanya keadilan. Khususnya dalam hal ini adalah, menjunjung tinggi kesetaraan dan hak perempuan di ruang publik.

Mental Block dan Penghayatan  

Wacana tentang kesetaran saat ini masih terus disuarakan, begitupula kebijakan-kebijakan terhadap kesetaraan pun terus diperbaiki. Namun terkait masalah gender, terdapat prakrik dehumanisasi yang tidak pernah usai bahkan menjadi bias berbagai wilayah perbincangan. Sehinga, perlu adanya penghayatan, pendalaman, dan perenungan yang matang, guna mencari titik permasalahan dan ini bukan perkara yang mudah. Apalagi berkaitan dengan human science yang dasarnya adalah membutuhkan suatau pemahaman. 

Berkaitan dengan masalah gender, tidak keliru jika mengawalinya dengan konsep “mental block”. Banyak dari perempuan, terutama perempuan yang pesimis, kurang percaya diri, merasa tidak mampu, tidak memiliki keahlian, bahkan tidak menyanggupi sesuatu yang dikerjakan. Padahal semua itu hanya anggapan dan perasaan semata yang hanya bersifat apriori. Masalah-maslah ini tentu cenderung menjadikan kualitas diri perempuan akan menurun. Kondisi Mental block sesungguhnya menjadi hambatan mendasar, banyak dari mereka tidak mengambil kesempatan untuk maju, karena merasa tidak layak dan tidak pantas. Ini adalah masalah yang sesungguhnya, sekalipun wacana kesetaraan gender terus digaungkan, namun karena masih adanya rasa pesimis dengan diri sendiri, pastinya ini akan menjadi problematika gender tidak akan pernah selesai.

Sebagai perenungan, beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah, pertama perubahan berawal dari diri sendiri. Saya ingat pesan Al-Qur’an surah Ar-Rad ayat 11, bahwa “Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. Artinya adalah untuk menjadi seseorang yang berkualitas maka perlu pembenahan dan perubahan yang mendalam dari diri sendiri. Menjadi manusia yang bebas dan berperan, membutuhkan kesadaran yang dewasa, yakin bahwa diri mampu untuk melakukan segala hal. Hal ini dapat dilakukan dengan menanamkan keyakinan bahwa setiap manusia dibekali kekuatan yang sama, tidak membanding-bandingkan diri dengan orang lain, yang pada akhirnya akan menjatuhkan mental diri untuk maju. Langkah lain adalah dengan mengafirmasi diri pada hal-hal positif, dan ini merupakan langkah penting. Sebab, kebijakan pemerintah, teori, atau motivasi tidak akan berpengaruh pada perubahan seseorang apabila tidak mengawalinya dari diri sendiri.

Kedua, perlu menanamkan pemahaman bahwa setiap orang berhak untuk maju dan mengekspresikan dirinya di hadapan publik. Memberikan ruang kepada siapapun untuk mengembangkan dirinya sebagai manusia yang bebas, termasuk mengakui peran perempuan di segala aspek tanpa memberikan batasan sepanjang itu tidak bertentangan dengan norma yang berlaku. 

Ketiga, menciptakan kesadaran melalui penghayatan yang dewasa, banyak yang tidak menyadari bahwa setiap orang berhak dan bertanggung jawab dalam urusan apapun, termasuk dalam pekerjaan domestik yang sering kali dianggap sebagai wilayah kerja perempuan. Padahal, pekerjaan domestik merupakan tanggung jawab bersama dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Selain itu, masalah kesetaraan gender tidak hanya monoton pada pekerjaan domestik semata. Ada banyak masalah lainnya yang mesti mendapat penindakan secara serius, seperti ruang politik, ekonomi, dan lain sebagainya sehingga perlu keterlibatan semua pihak tidak hanya perempuan saja. Dengan demikian, batasan-batasan yang dibangun berdasarkan paradigma nurture ini perlu diatasi melalui penghayatan secara dewasa.

Peran Islam Sebagai Penghayatan Menuju Kesadaran Kesetaraan Gender

Seperti yang saya paparkan di atas, upaya mendorong terciptanya kesadaran terhadap kesetaraan gender, agama memiliki peran yang signifikan. Agama Islam turut andil dalam menciptakan kesadaran menuju adanya kesetaraan gender di masyarakat. Islam memiliki ajaran yang fundamental yang perlu diinterpretasi sebagai nilai dasar berperilaku etis. Nilai etis secara khusus di sini adalah perilaku yang mencerminkan keharmonisan antara laki-laki dan perempuan dalam memainkan perannya tidak hanya dalam ruang domestik namuk juga di ruang publik. 

Guna mempertegas masalah tersebut, pertama, perlu menanamkan pemahaman bahwa lahirnya manusia di muka bumi telah dibekali potensi diri yang sempurna. Sebagaimana Allah telah menciptakan manusia dengan bentuk yang sebaik-baiknya. Pernyataan ini tertuang di dalam Q.S At-Tin ayat 4. Di sini, Allah tidak menyebut laki-laki lebih unggul dibandingkan perempuan atau sebaliknya. Setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan diciptakan dengan kapasitas diri yang sama, yang selanjutnya bagaimana masing-masing pihak dapat mengembangkan dan mengasah kemampuan itu menjadi hal lebih baik. Sehingga batas antara laki-laki dan perempuan sebetulnya terletak pada seksualitasnya secara biologis melaikan dari paran dan tanggung jawabnya. Pemahaman ini dapat menjadi pijakan dalam menekan “mental block” yang nyaris mengakar di dalam diri manusia, yang pada akhirnya melahirkan rasa pesimis untuk mengembangkan kapasitas diri.

Kedua, baik laki-laki dan perempuan diberikan tanggung jawab yang sama, memperoleh hasil sesuai dengan upaya yang dilakukannya. Hal ini tertuang dalam Al-Qur’an di antaranya dalam Q.S al-Imran ayat 195, Q.S al-Ahzab ayat 35, Q.S an-Nahl ayat 97, Q.S al-Ghafir ayat 40 dan lain sebagainya. Ayat-ayat tersebut mempertegas bahwa tidak ada sekat antara laki-laki dan perempuan dalam mengeksperiskan potensinya sebagai mahluk. Keduanya diberikan kapasitas yang sama untuk mengolah dan memperoleh hasil olahannya, mendapatkan ganjaran atas perbuatannya, dan dinilai sesuai dengan amal perbuatannya. Artinya Allah memberikan kebebasan kepada siapapun tanpa memandang aspek sesksualitasnya dan akan mendapat porsi yang sama di mata agama dan juga di mata publik.

Ketiga, saling tolong-menolong dalam kebaikan (harmonisasi). Poin ini merupakan bagian penting untuk dipahami secara mendalam. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surah at-Taubah ayat 71, bahwa laki-laki dan perempuan adalah saling menolong dalam menganjurkan kebaikan (amar ma’ruf) dan dan melarang kejahatan (nahi munkar). Jika dimaknai lebih jauh, ayat ini mengandung banyak makna dan pesan. Misalnya dalam hal rumah tangga, suami maupun istri diperkenankan untuk saling mengsi kekosongan, saling mengimbangi pekerjaan. Terlebih pada wilayah kerja domestik yang pada dasarnya merupakan tanggung jawab bersama. Dalam hal politik, tidak ada batasan kepada siapa pun (laki-laki atau perempuan) untuk menjadi pemimpin. Selagi dapat memberikan kebaikan, kebermafaatan, dan membawa perubahan, why not?

Menurut Imam Asy-Syathibi bahwa nilai kesetaraan bersifat pasti, tetap, dan berlaku universal, termasuk potensi dan posisi laki-laki dan perempuan di ranah sosial. Sedangkan untuk ayat otoritas kepemimpinan laki-laki itu bersifat particular-sosiologis maka berlaku kontekstualisasi (Muhammad, 2022). Dengan demikian, situasi ini seperti yang tertuang pada Firman Allah pada poin pertama dan poin kedua mengenai potensi yang ada di dalam diri setiap manusia dan tanggung jawab yang diemban pada tiap-tiap amal perbuatannya. Melakukan kebaikan dalam konteks apapun tidak memandang dari segi seksualitasnya, Allah mempersilahkan kepada manusia untuk berbuat baik berdasarkan kapasitas dan kapabilitas yang ada.

Begitupula dalam sejarah kenabian, kita tidak asing dengan sosok wanita yang bernama Siti Khadijah yang merupakan istri Nabi Muhammad SAW. Dalam banyak referensi beliau merupakan perempuan yang kaya, karirnya bagus, dan pekerja keras. Dengan kemampuannya, Siti Khadijah mampu menjadi pionir dakwah Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan risalah Islam. Kemampuan dan kelebihan Siti Khadijah yang kaya dan memiliki karir yang gemilang, tidak sedikit pun mengurangi esensi kenabian dan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dalam memimpin umat Islam. Ini menegaskan bahwa tolong-menolong tidak terdapat Batasan, siapa pun dapat melakukannya dengan tujuan kebaikan. Selain itu, dari kisah Siti Khadijah juga mengajarkan kepada kita bahwa perempuan berhak untuk berkarir, mengembangkan potensi diri, dan menjadi sosok pribadi yang mapan. Sehingga sifat pesimis dan tidak percaya diri (mental block) perlu disisihkan dalam diri agar tidak menjadi penghalang untuk menjadi diri yang terbaik serta mampu bersaing di ruang publik.

Kesimpulan 

Pada dasarnya masalah kesetaraan gender bukan lagi terletak pada wilayah kerja dan batasan-batasannya. Masalah kesetaraan gender dewasa ini lebih pada menanamkan rasa percaya diri, menghilangkan rasa pesimis, dan penghayatan secara dewasa untuk menuju kesadaran bahwa manusia diciptakan dengan beragam dan saling mengisi kekosongan. Menciptakan harmonisasi dan membiarkan kesempatan kepada siapapun untuk mengekprsikan diri di hadapan public tanpa ada kekhawatiran maupun penghalang. Kebijakan yang dibuat pemerintah dalam memberikan kebebasan terhadap perempuan, tidak akan berpengaruh jika tidak terciptanya kesadaran secara dewasa dari masing-masing individu. Selain itu, usaha untuk mendorong dan menghilangkan rasa pesimis, mampu menyelamatkan kaum minoritas (laki-laki atau perempuan yang tertindas) dari belenggu subordinatif.

Untuk menciptakan kesadaran yang dewasa, Islam memiliki peran sebagai nilai dasar menuju kesadaran kesetaraan gender. Dengan nilai dasar yang ada, sangat memungkinkan untuk mendorong mengembangkan potensi dengan menghayati ajaran, kisah, ayat demi ayat yang ada di Al-Qur’an, di antaranya yang tercantum di dalam tulisan ini. Semoga dengan ikhtiar ini nilai-nilai kemanusiaan akan terus diperkuat untuk menekan potensi terjadinya dehumanisasi.

Referensi

Andik Wahyun Muqoyyidin, (2013) “Wacana Kesetaraan Gender:Pemikiran Islam Kontemporer tentang Gerakan Feminisme Islam”, Jurnal Al-Ulum, Volume 13 Nomor 2.

Daron Acemoglu dan James A. Robinson, (2017), Mengapa Negara Gagal: Awal Mula Kekauasaan, Kemakmuran Dan Kemiskinan, Jakarta: PT Gramedia.

Dede Kania (2015), “Hak Asasi Perempuan Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia, The Rights of Women in Indonesians Laws And Regulations”, Jurnal Konstitusi, Volume 12, nomor 4.

Husein Muhammad, (2022), Perempuan, Islam Dan Negara, Yogyakarta: IRCiSoD.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *