Ketersalinggantungan Islam dan HAM (Bagian 2)

Hak Asasi Manusia

Istilah “hak” (bahasa Arab: haqq) sebenarnya sudah sangat akrab di kalangan umat Muslim. Kata ini tersebar luas dalam tradisi dan literatur keislaman. Di Indonesia, kata ini juga telah diadaptasi menjadi bahasa Indonesia. Meskipun kata al-hak (jamak: al-huquq) memiliki banyak arti, seorang sarjana Muslim dari Maladewa yang menjadi dosen di Univeritas Melbourne Australia, Abdullah Saeed, menyimpulkan bahwa keberadaan terma “hak” di dalam agama Islam memiliki akar mendalam sebagai “kerangka moral keagamaan” (religious-moral framework) bagi hak asasi manusia (Saeed 2018: 1).

Selaras dengan itu, Noorhaidi Hasan, guru besar politik Islam di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, memandang positif hak asasi manusia. Merujuk ke berbagai sumber, Noorhaidi mengartikan Hak Asasi Manusia (selanjutnya ditulis HAM), sederhananya, merupakan hak-hak dasar yang menjadi bagian dari harkat dan martabat manusia. Hak-hak tersebut, lebih lanjut, melekat secara kodrati pada diri manusia sejak dilahirkan ke dunia. Setiap orang, tak terkecuali, mempunyai hak-hak tersebut, walaupun lahir dalam ras, suku, gender, bahasa, agama, budaya, atau kelas ekonomi yang berbeda. Ringkasnya, ketika seseorang terlahir di dunia ini pada dia langsung memiliki hak-hak asasi dasar. Sayangnya, dalam banyak pengalaman di berbagai negara, hak-hak tersebut bukan hanya tidak dipenuhi, tetapi juga dilanggar. Dalam kasus seperti itu gerakan pembelaan terhadap pemenuhan HAM tak lain adalah suatu ikhtiar manusia untuk menuntut pemulihan harkat dan martabat manusia (Hasan 2021: 1). Awalnya gagasan dasar hak asasi manusia di Barat lebih dipicu oleh gerakan renaisans, bukan oleh teologi Yahudi dan Kristen. Renaisans merupakan gerakan pembaharuan di Barat yang dimulai pada abad ke- 14 dan mencapai titik puncaknya pada abad ke-17. Ide dasar gerakan renaiasans adalah humanitas atau memberikan perhatian besar kepada manusia dan kemanusiaan (Monfasani 2016). Pada gilirannya agama Kristen di Barat juga harus memperbaharui pemahamannya agar sesuai dengan norma-norma kemanusiaan.

Meskipun pengalaman renaisans di Barat cukup besar andilnya dalam proses evolusi norma-norma hak asasi manusia, tapi tidak benar bahwa Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menjadi titik awal internasionalisai HAM adalah representasi dunia Barat. Penulis draft DUHAM berasal dari Timur maupun Barat, laki-laki dan perempuan, serta berlatar belakang agama yang berbeda. Diketuai oleh Eleanor Roosevelt (Amerika), anggota tim intinya antara lain Rene Cassin (Perancis), Charles Malik (Lebanon), Peng Chung Chang (China), dan John Humphrey (Kanada). Draft awal deklarasi tersebut bahkan disusun bukan oleh perwakilan dari Amerika maupun Eropa, tetapi oleh Presiden Panama, yaitu Ricardo Alfaro. Perdebatan beberapa pasal selama proses pematangan draft, misalnya tentang pernikahan, hak beragama, dan lain-lain banyak didominasi oleh suara perwakilan dari negara-negara Timur dan sebagiannya Muslim, seperti Begum Ikramullah (India), Wahid Rafaat (Mesir), Zafrallah Khan (Pakistan), Mohammed Habib (India), dan lainnya.

Dukungan negara-negara Barat mengenai ide HAM di dalam PBB mengalami pasang surut. Dalam sebuah tulisannya Brett G. Scharffs, seorang ahli sejarah HAM dari Fakultas Hukum Brigham Young University, AS, menyebutkan bahwa pada saat penyusunan Piagam PBB tahun 1945, negara-negara besar seperti Inggris, AS, dan Uni Soviet tidak terlalu tertarik dengan hak asasi manusia. Amerika kurang tertarik pada hak asasi manusia sebab di negerinya sendiri banyak persoalan rasial. Kesetaraan ras yang digulirkan HAM membuat Amerika khawatir dapat memberikan peluang protes dari kelompok-kelompok ras kulit berwarna. Setelah Perang Dunia II berakhir, Inggris juga tidak tertarik dengan gagasan HAM karena mereka sedang berusaha keras mempertahankan wilayah jajahannya. Sementara itu Uni Soviet, sebelum kemudian pecah menjadi Rusia, juga tidak berminat dengan ide perlindungan hak asasi manusia lantaran pada dasarnya ideologi komunisme mengedepankan asas kepentingan bersama. HAM yang banyak mengedepankan asas individu merupakan ancaman bagi negara itu (Scharffs 2022: 137-138). Sebagai sebuah hukum internasional, HAM tidak dapat serta merta dipaksakan penerepannya ke negara-negara anggota PBB. Agar memiliki kekuatan hukum di tingkat nasional, Indonesia harus meratifikasi dulu kovenan, konvensi, atau perjanjian (traktat) hak asasi manusia tertentu. Menariknya pemerintah Indonesia termasuk yang cukup aktif meratifikasi kovenan HAM PBB. Sekadar contoh beberapa kovenan dan konvensi yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia, misalnya, Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik tahun 1966, Traktat Pelarangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir tahun 1996; Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme tahun 2000; Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas tahun 2006; dan lain-lain. Sebagian besar kovenan di PBB tidak memiliki hubungan langsung dengan persoalan agama, hanya sebagian kecil yang terkait dengan isu agama. Dari empat contoh tersebut di atas objek material Traktat Pelarangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir tahun 1996 dan Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas tahun 2006 tidak terkait secara langsung dengan isu keagamaan. Sementara itu Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik tahun 1966 dan Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme tahun 2000 memiliki muatan isu agama yang lumayan besar. Dari beberapa contoh instrumen HAM yang diratifikasi pemerintah Indonesia tersebut juga tampak gambaran perhatian HAM cukup luas dan utamanya adalah demi kemanusiaan.

Karena perhatian utama HAM adalah kemanusiaan, HAM tidak bertujuan menyerang identitas agama, keyakinan, warna kulit, ras, dan identitas-identitas lain. Tugas HAM melindungi manusia dengan barbagai perbedaan identitas. Dalam konteks terjadinya kekerasan terhadap orang atau kelompok masyarakat dengan identitas tertentu sebenarnya HAM juga tidak sedang melindungi identitas korban, tetapi lebih kepada melindungi korban sebagai manusia. Dalam ruang lingkup keagamaan, kepedulian HAM bukan kepada agama atau keyakinan tertentu, tetapi kepada manusia yang kebetulan memiliki (atau tidak memiliki) identitas agama atau keyakinan tertentu. Dengan kata lain pembelaan HAM bukan kepada agama atau keyakinan seseorang, tetapi kepada seseorang itu sendiri karena statusnya sebagai manusia.Dalam perspektif HAM, misalnya, negara harus melindungi warga negara yang menganut Ahmadiyah atau pengikut agama agama lokal dari serangan kelompok manapun bukan karena negara membela keyakinan Ahmadiyah maupun keyakinan agama lokal tertentu, tetapi negara wajib melindungi warga negaranya sebagai manusia. Negara tidak boleh menunjukkan pembelaan atau favoritisme (pengunggulan) suatu keyakinan apapun, baik yang dianut oleh kelompok mayoritas maupun minoritas. Perhatian HAM sekali lagi terletak pada sisi “manusia”-nya, apapun keyakinannya.

Artikel ini merupakan bagian dari buku Keragaman beragama: Relasi Islam dan HAM bagian Ketersalinggantungan Islam dan HAM yang ditulis oleh Suhadi Cholil

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *