Pendahuluan
Meskipun kisah ini terjadi sepuluh tahun lalu, tepatnya pada tahun 2012 tapi tampaknya masih sangat relevan untuk kita refleksikan saat ini. Kisah ini menyangkut sosok bocah perempuan bernama Malala Yousafzai yang lahir di kota Mingora, daerah Lembah Swat, Pakistan. Suatu hari Malala naik bus dari rumah ke sekolah. Di tengah perjalanan laskar Taliban mencegat bus itu dan mencari Malala. Tidak lama kemudian mereka menyerangnya, Malala terkena tiga tembakan serius, lalu tersungkur jatuh. Awalnya dia dirawat di rumah sakit militer di Peshawar. Karena memerlukan perawatan yang lebih intensif kemudian Malala harus diterbangkan ke Inggris. Syukurlah akhirnya Malala tertolong, meskipun memerlukan perawatan sangat lama karena wajahnya sisi kiri sempat lumpuh.
Sebelum peristiwa itu, meskipun masih kecil Malala termasuk yang lantang menyuarakan agar perempuan diberi hak untuk memperoleh pendidikan. Setelah Taliban menyerang sekolah perempuan di daerah Swat pada tahun 2008, Malala berpidato di Peshawar memprotes Taliban. Dia menantang Taliban yang merampas hak dasar perempuan untuk bersekolah. Sebelum itu sekitar 400 sekolah mengalami nasib yang sama, dihancurkan oleh Taliban. Teror dan kekerasan yang dialami seorang remaja Muslimah ini tidak membuatnya kapok. Setelah sembuh dari sakit akibat penembakan, Malala semakin gencar menyuarakan hak-hak pendidikan bagi kaum perempuan. Konsistensinya pada hak-hak pendidikan perempuan dan perdamaian mengantarkannya untuk meraih Nobel Perdamaian tahun 2014.
Dua atau dekade yang lalu posisi perempuan untuk mendapatkan pendidikan masih menjadi pertanyaan, tapi tampaknya tidak lagi saat ini.
Suhadi Cholil
Di sebagian besar daerah di Indonesia, hak pendidikan bagi perempuan tampaknya bukan lagi hak yang mewah. Pemenuhan hak pendidikan bagi perempuan relatif terpenuhi dengan baik. Sejak akhir abad ke-18, R.A. Kartini telah memperjuangkannya. Ketika menjadi Menteri Agama K.H. Wakhid Hasyim (1949-1950), membuka untuk pertamakalinya perkuliahan bagi perempuan di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri. Setelah Reformasi 1998, hak untuk “mendapatkan pendidikan” menjadi salah satu klausul di dalam Pasal 28C, dimana Pasal 28 sendiri merupakan Bab tentang “Hak Asasi Manusia”. Jadi, di Indonesia Pendidikan dipandang sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dua atau dekade yang lalu posisi perempuan untuk mendapatkan pendidikan masih menjadi pertanyaan, tapi tampaknya tidak lagi saat ini. Meskipun demikian jangan dibayangkan hak mendapatkan pendidikan bagi perempuan telah merata di muka bumi ini, termasuk di sebagian negara (berpenduduk mayoritas) Muslim. Walaupun di Indonesia hak pendidikan bagi perempuan tidak lagi banyak mengalami kendala, di luar kasus pendidikan bagi perempuan tersebut harus diakui masih banyak agenda yang memerlukan perhatian, salah satunya menyangkut kebebasan beragama atau berkeyakinan (freedom of religion or beliefs/ FoRB). Banyak negara, termasuk Indonesia, masih memiliki PR dalam masalah itu. Islam sebagai agama yang paling banyak dipeluk oleh warga di negeri ini sepatutnya memberikan tawaran norma yang mampu menyemai hak asasi manusia, termasuk dalam persoalan kebebasan beragama atau berkeyakinan.
Artikel ini merupakan bagian dari buku Keragaman beragama: Relasi Islam dan HAM bagian Ketersalinggantungan Islam dan HAM yang ditulis oleh Suhadi Cholil