Kesetaraan Gender di Era Modern: Tinjauan Islam dan HAM sebagai Landasan

(Oleh Eko Priyanto)

Agama Islam memberikan penghormatan yang sangat tinggi terhadap perempuan. Salah satu dalilnya adalah hadits Rasulullah SAW yang menyebutkan ibu sebanyak tiga kali ketika beliau ditanya siapa yang paling berhak diperlakukan baik. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa Islam memuliakan perempuan, termasuk melalui ketentuan bahwa istri tidak diwajibkan mencari nafkah. Sebagai makhluk yang memiliki peran unik, Islam memberikan pedoman yang menempatkan perempuan pada posisi yang sangat istimewa, baik dalam keluarga maupun masyarakat.

Namun, di era modern ini, muncul berbagai tantangan dalam memahami konsep kesetaraan gender. Kesetaraan gender yang mencakup perbedaan status dan peran laki-laki serta perempuan dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik sering kali menimbulkan dinamika baru dalam tatanan masyarakat. Salah satu dampaknya adalah ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Perempuan yang bekerja di luar rumah, terutama jika telah menikah dan memiliki anak, mungkin menghadapi dilema antara tanggung jawab profesional dan peran keluarga. Bahkan, dalam beberapa kasus, situasi seperti istri bekerja di pabrik sementara suami menjadi pengojek dapat memicu keputusan seperti childfree (sepakat tidak memiliki anak) yang memengaruhi dinamika keluarga.

Selain itu, lingkungan kerja juga membawa risiko tertentu, seperti pelecehan seksual dan perselingkuhan, yang dapat mengancam stabilitas rumah tangga dan harmoni sosial. Maka, penting untuk memahami dampak dari konsep ini serta mencari solusi yang tidak hanya selaras dengan nilai-nilai Islam tetapi juga mampu memberikan manfaat bagi individu dan masyarakat.

Dampak Kesetaraan Gender

Kesetaraan gender memberikan dampak yang kompleks terhadap kehidupan keluarga. Salah satu tantangannya adalah ketidakharmonisan dalam rumah tangga ketika perempuan yang bekerja tidak dapat mengimbangi perannya sebagai istri dan ibu. Anak-anak yang kurang mendapat perhatian dari orang tua, khususnya ibu, dapat menghadapi dampak psikologis jangka panjang, seperti rendahnya rasa aman dan kepercayaan diri. Ketidakharmonisan dalam keluarga ini juga berpotensi meningkatkan angka perceraian, yang pada akhirnya memengaruhi struktur sosial secara keseluruhan.

Di tempat kerja, meskipun perempuan mendapatkan peluang untuk mandiri secara finansial, mereka sering kali dihadapkan pada risiko tertentu. Tantangan berupa pelecehan seksual, tekanan untuk memenuhi ekspektasi yang tinggi, serta persaingan yang tidak sehat menjadi masalah yang kerap terjadi. Kondisi seperti ini tidak hanya merugikan perempuan secara individu, tetapi juga memengaruhi hubungan mereka dengan keluarga dan masyarakat.

Dari perspektif sosial dan budaya, kesetaraan gender sering kali dipandang sebagai ancaman terhadap nilai-nilai tradisional di beberapa kalangan. Hal ini menciptakan resistensi sosial yang dapat menghambat perempuan dalam mencapai potensi maksimalnya. Sebaliknya, interpretasi yang terlalu bebas terhadap konsep ini juga berisiko menyebabkan perubahan budaya yang tidak selaras dengan prinsip-prinsip Islam, yang mengutamakan keharmonisan dan keseimbangan.

Dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) modern, kesetaraan gender adalah hak fundamental yang meliputi kesetaraan dalam akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan pengambilan keputusan. Penelitian oleh Martha Nussbaum (2011), menyatakan bahwa keadilan gender hanya dapat tercapai jika perempuan diberikan kesempatan yang sama dalam pengembangan kapasitas dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Konsep ini sejalan dengan pendekatan Islam yang menempatkan perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki dalam membangun masyarakat yang harmonis.

Solusi Menurut Islam dan HAM Modern

Islam sebagai agama raḥmatan lil-ʿālamīn memberikan solusi yang harmonis untuk menjawab tantangan ini. Kesetaraan gender dalam Islam bukanlah soal penyamarataan mutlak, melainkan pemberian hak dan kewajiban yang sesuai dengan kodrat dan kapasitas masing-masing. Sebagai contoh, perempuan diutamakan untuk tetap menjalankan peran utamanya dalam keluarga. Syaikh Mutawalli as-Sya’rawi dalam kitabnya Makānat al-Mar’ah fī al-Islām menegaskan bahwa Islam tidak melarang perempuan untuk bekerja. Namun, pekerjaan yang dipilih hendaknya tidak mengorbankan tanggung jawab utamanya, yaitu menciptakan kenyamanan dalam rumah tangga dan mendidik anak-anak. Pilihan pekerjaan yang fleksibel menjadi solusi penting agar keseimbangan antara kehidupan profesional dan pribadi tetap terjaga.

Pelajaran penting lainnya dapat diambil dari kisah dua putri Nabi Syuaib dalam Alquran, surat Al-Qashash ayat 23. Ketika mereka hendak memberi minum hewan ternak, mereka menunggu hingga tempat tersebut sepi agar tidak berdesak-desakan dengan laki-laki. Kisah ini mengajarkan pentingnya menjaga kehormatan dan nilai diri dalam setiap aktivitas, termasuk saat bekerja. Sikap ini relevan untuk perempuan yang berkarir agar tetap menjaga integritas dan martabatnya di lingkungan kerja.

Selain itu, pendidikan yang menanamkan nilai-nilai Islam sejak dini sangat penting dalam membentuk generasi yang memahami peran gender dengan benar. Anak-anak perlu diajarkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki tugas dan tanggung jawab yang saling melengkapi, bukan bersaing. Pendidikan semacam ini dapat mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan peran dalam keluarga dan masyarakat, sehingga menciptakan harmoni yang lebih baik.

Dalam konteks HAM modern, langkah-langkah ini dapat dipadukan dengan kebijakan pro-gender yang memastikan perlindungan bagi perempuan di berbagai sektor. Amartya Sen (1999) menunjukkan bahwa pembangunan yang berkelanjutan sangat bergantung pada pemberdayaan perempuan, terutama dalam akses pendidikan dan kesempatan kerja. Kebijakan seperti fleksibilitas kerja, cuti melahirkan yang memadai, serta perlindungan hukum terhadap pelecehan seksual di tempat kerja menjadi langkah penting untuk mewujudkan kesetaraan ini.

Kesimpulan

Perempuan dan laki-laki memiliki peran yang saling melengkapi, bukan untuk disetarakan secara mutlak. Islam memberikan kebebasan bagi perempuan untuk bekerja, tetapi menekankan pentingnya menjalankan tugas utama dalam keluarga. Kesetaraan gender yang benar adalah yang tetap menghormati kodrat masing-masing gender sambil memberikan ruang bagi perempuan untuk berkembang. Dengan pemahaman ini, kita dapat membangun masyarakat yang lebih harmonis, adil, dan sejalan dengan nilai-nilai Islam.

Kesetaraan gender tidak hanya soal hak, tetapi juga tanggung jawab. Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip Islam dan HAM modern, kita dapat menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat. Dengan demikian, kehidupan yang lebih bermakna dapat terwujud tidak hanya bagi perempuan tetapi juga untuk keluarga dan komunitas secara keseluruhan.

Referensi

  • Alquran, Surat Al-Qashash ayat 23
  • Mutawalli as-Sya’rawi. Makānat al-Mar’ah fī al-Islām.
  • Martha Nussbaum. Creating Capabilities: The Human Development Approach. Harvard University Press, 2011.
  • Amartya Sen. Development as Freedom. Oxford University Press, 1999.

illustrasi oleh Dimitri Dim berjudul Women’s White Dress Shirt diunduh dari https://www.pexels.com/photo/women-s-white-dress-shirt-1802175/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *