Oleh: Erfan Efendi, S.Pd.I, M.Pd.
Isu diskriminasi terhadap kaum minoritas adalah salah satu tantangan besar yang dihadapi Indonesia. Ketimpangan dalam perlakuan terhadap kelompok minoritas sering kali menimbulkan ketegangan sosial yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan. Beberapa kelompok memanfaatkan isu perbedaan ini untuk menciptakan ketegangan dengan membenturkan satu kelompok dengan kelompok lain. Dalam hal ini, konsep Islām Raḥmatan lil-‘Ālamīn (rahmat bagi seluruh alam) menjadi cukup relevan. Islam tidak hanya menekankan kedamaian dan kasih sayang antar sesama manusia, tetapi juga menuntut penerapan nilai-nilai toleransi yang mampu menjaga hak-hak kaum minoritas. Konsep ini selaras dengan semangat penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM), yang juga menjadi dasar bagi hubungan harmonis di tengah keberagaman (Kamali, 2015; Sachedina, 2009; Abou El Fadl, 2004).
Raḥmatan lil-‘Ālamīn dalam Perspektif Islam
Islam mengajarkan prinsip Raḥmatan lil-‘Ālamīn yang berarti “rahmat bagi seluruh alam”. Konsep ini menekankan bahwa kehadiran Islam di tengah kehidupan masyarakat harus membawa kedamaian dan kasih sayang, tidak hanya untuk sesama Muslim tetapi juga untuk semua makhluk hidup tanpa memandang latar belakang. Contoh nyata dapat dilihat dari kehidupan Rasulullah SAW yang penuh kasih sayang terhadap sesama, termasuk kepada non-Muslim. Sebuah kisah populer menyebutkan bahwa Rasulullah SAW rutin memberikan makanan dengan penuh keikhlasan kepada seorang Yahudi tua, buta, dan tuli (Lings, 1983; Nasr, 2007).
Rahmatan Lil’alamin bukan hanya sebuah konsep teologis tetapi juga prinsip praktis yang membimbing hubungan antar-manusia. Konsep ini menekankan pentingnya penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari untuk menciptakan masyarakat yang damai dan adil. Yusuf Al-Qaradawi dalam karyanya “Fiqh al-Jihād” menegaskan bahwa tujuan utama syariat adalah untuk mendatangkan kemaslahatan dan mencegah kemudaratan. Kemaslahatan ini tidak hanya terbatas pada aspek spiritual tetapi juga meluas ke dimensi sosial, politik, dan ekonomi, yang semuanya berkontribusi pada keberagaman dan toleransi (Kamali, 2008; Sachedina, 2009).
Dalam konteks ini, maqāṣid al-sharī‘ah atau tujuan syariat memberikan pijakan yang kuat untuk melindungi hak-hak minoritas, menghindari diskriminasi, dan mendorong partisipasi aktif mereka dalam masyarakat. Prinsip ini juga berfungsi sebagai panduan etis bagi umat Islam untuk membangun tatanan sosial yang inklusif dan harmonis (Esposito & Voll, 2001). Lebih jauh, maqāṣid al-sharī‘ah melibatkan perlindungan terhadap lima kebutuhan dasar manusia: agama, kehidupan, akal, keturunan, dan harta benda, yang semuanya relevan dalam mendukung keberagaman dan memastikan keadilan sosial.
Perspektif HAM dan Fiqh al-Aqallīyāt
Dari sudut pandang Hak Asasi Manusia (HAM), Islam memberikan kontribusi signifikan melalui prinsip-prinsipnya yang mengutamakan keadilan dan penghormatan terhadap semua individu, termasuk kaum minoritas. Konsep Rahmatan Lil’alamin sejalan dengan penghormatan terhadap HAM, yang mencakup hak untuk hidup, berkeyakinan, dan bebas dari diskriminasi (Kamali, 2008; Sachedina, 2009). Dalam Islam, hak-hak ini tidak hanya berlaku bagi mayoritas, tetapi juga melindungi minoritas.
Islam juga mengajarkan hak atas keadilan sosial, perlindungan dari ketidakadilan, dan akses terhadap perlakuan yang setara di hadapan hukum. Rasulullah SAW menunjukkan komitmen ini dalam Piagam Madinah, yang memberikan kerangka kerja bagi masyarakat pluralistik di mana Muslim dan non-Muslim hidup berdampingan secara harmonis (Hamidullah, 1975).
Hal ini menjadi contoh penting bahwa Islam bukan hanya mendukung, tetapi juga memberikan dasar hukum untuk menghormati hak-hak semua komunitas, termasuk kaum minoritas. Dengan kerangka ini, HAM tidak hanya bersifat universal, tetapi juga menjadi elemen integral dari maqāṣid al-sharī‘ah yang mendukung kemaslahatan dan mencegah kemudaratan (Bennett, 2005). Ia menyoroti bahwa penghormatan terhadap hak individu dan upaya untuk menghindari diskriminasi adalah bagian integral dari etika Islam.
Di samping itu, Fiqh al-Aqallīyāt (fikih minoritas) juga menjadi perhatian penting dalam konteks masyarakat pluralistik, terutama karena banyaknya umat Islam yang hidup sebagai minoritas di berbagai negara non-Muslim. Abdullahi Ahmed An-Na’im dalam Islam and the Secular State menjelaskan bahwa integrasi nilai-nilai Islam dengan kerangka hukum modern adalah kunci untuk menciptakan harmoni di masyarakat yang beragam, tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar agama (An-Na’im, 2008). Hal ini mencakup penghormatan terhadap kebebasan berkeyakinan dan penerapan hukum yang adil tanpa diskriminasi terhadap kelompok minoritas.
Dalam pandangan Tariq Ramadan, seperti yang diuraikan dalam Radical Reform, umat Islam di negara-negara non-Muslim memiliki tanggung jawab untuk mengadaptasi nilai-nilai Islam dalam cara yang relevan dengan konteks sosial mereka. Ramadan menegaskan bahwa penerapan prinsip Islam harus mempertimbangkan tantangan lokal tanpa mengorbankan esensi ajaran agama, seperti keadilan, kasih sayang, dan kesetaraan (Ramadan, 2009). Selain itu, konsep ini juga relevan untuk mendorong dialog antar-budaya dan memperkuat peran umat Islam sebagai warga negara yang berkontribusi positif bagi masyarakat pluralistik.
Lebih jauh lagi, Fiqh al-Aqallīyāt berfungsi sebagai kerangka yang memungkinkan umat Islam untuk berinteraksi secara harmonis dengan komunitas lain sambil mempertahankan identitas keagamaan mereka. Konsep ini juga memberikan panduan praktis untuk menghadapi isu-isu seperti kebebasan beribadah, pendidikan agama, dan partisipasi dalam politik lokal, yang semuanya penting untuk mendukung keberlanjutan hubungan antar-komunitas yang damai dan inklusif (Esposito & Voll, 2001).
Penutup
Islam, dengan konsep Rahmatan Lil’alamin, menawarkan solusi untuk menciptakan dunia yang damai, rukun, dan harmonis. Dengan menjunjung tinggi toleransi dan nilai-nilai universal dalam Islam, kita dapat membangun masyarakat yang menghargai keberagaman.
Rasulullah SAW bersabda: “Orang-orang yang saling mengasihi akan dikasihi oleh Ar-Rahman. Berkasih sayanglah kepada siapa pun yang ada di muka bumi, niscaya yang ada di langit akan mengasihi kalian.” (HR. Tirmidzi No. 2049).
gambar illustrasi oleh RDNE Stock project berjudul Women in Black Hijab Praying dari laman https://www.pexels.com/photo/women-in-black-hijab-praying-7249346/
Referensi
- Abou El Fadl, K. (2004). Reasoning with God: Reclaiming Shari‘ah in the Modern Age. Oxford University Press.
- An-Na’im, A. A. (2008). Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari’a. Harvard University Press.
- Bennett, C. (2005). Muslims and Modernity: An Introduction to the Issues and Debates. Continuum.
- Esposito, J. L., & Voll, J. O. (2001). Makers of Contemporary Islam. Oxford University Press.
- Hamidullah, M. (1975). The First Written Constitution in the World: An Important Document of the Time of the Holy Prophet. Lahore: Ashraf Printing Press.
- Kamali, M. H. (2008). Shari’ah Law: An Introduction. Oneworld Publications.
- Lings, M. (1983). Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources. Islamic Texts Society.
- Nasr, S. H. (2007). The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition. HarperOne.
- Ramadan, T. (2009). Radical Reform: Islamic Ethics and Liberation. Oxford University Press.
- Sachedina, A. (2009). Islam and the Challenge of Human Rights. Oxford University Press.