Oleh: Fitriana Pusporini, S.Sy
Keberagaman agama yang dimiliki Indonesia adalah potensi sekaligus tantangan. Di satu sisi, keberagaman ini mencerminkan kekayaan budaya bangsa, namun di sisi lain dapat menjadi sumber konflik jika tidak dikelola dengan baik. Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini diajarkan untuk menghargai dan menghormati perbedaan. Nilai-nilai tersebut tercermin dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika, yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu jua.” Semboyan ini mengingatkan kita bahwa perbedaan harus menjadi pemersatu, bukan pemicu perpecahan.
Islam sebagai Mayoritas dan Penjaga Keberagaman
Sebagai agama mayoritas di Indonesia, Islam memiliki peran strategis dalam menciptakan wajah keberagaman yang harmonis. Prinsip Islam yang menghormati perbedaan sejalan dengan upaya menjaga kerukunan antarumat beragama. Salah satu contohnya adalah kegiatan Safari Natal 2023 di Purbalingga, di mana Bupati dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkompimda) mengunjungi gereja-gereja untuk mempererat silaturahmi. Kegiatan ini mencerminkan pentingnya dukungan umat Islam dalam menciptakan keamanan dan kenyamanan bagi umat beragama lain.
Landasan Alquran tentang Keberagaman
Islam mengajarkan penghormatan terhadap perbedaan melalui firman Allah dalam Alquran:
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (QS Al-Hujurāt: 13)
Ayat ini menegaskan bahwa perbedaan adalah anugerah Allah yang harus dimaknai sebagai kesempatan untuk saling mengenal dan berlomba-lomba dalam kebaikan. Menurut Nurcholish Madjid (1992), nilai ketakwaan menjadi ukuran kemuliaan manusia, bukan faktor-faktor seperti suku, ras, atau warna kulit, yang merupakan kenisbatan. Hal ini dijelaskan secara mendalam dalam karyanya Islam: Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta: Paramadina).
Kajian Fiqh dan Hak Asasi Manusia
Dalam studi fiqh, penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) merupakan bagian integral dari ajaran Islam. Fiqh mengajarkan bahwa menjaga lima maqāṣid al-sharī’ah (tujuan syariat) —yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta — adalah kewajiban. Imam Al-Ghazali dalam karyanya Al-Mustasfa menegaskan bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk mendatangkan kemaslahatan dan mencegah kerusakan (jalb al-maṣāliḥ wa dar’ al-mafāsid). Dalam hal ini, menghormati hak individu adalah bagian dari mendatangkan kemaslahatan.
Sebagai tambahan, deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam (1990) menjadi bukti bahwa Islam memiliki pandangan yang sejalan dengan HAM internasional, meskipun dengan kerangka nilai yang berbasis agama. Deklarasi ini menekankan pentingnya menjaga martabat manusia, keadilan, dan kesetaraan, sebagaimana yang diajarkan dalam Alquran dan sunnah.
Pakar hukum Islam kontemporer, seperti Mohammad Hashim Kamali, berpendapat bahwa prinsip-prinsip HAM dalam Islam tidak bertentangan dengan standar universal, melainkan melengkapinya dengan dasar moral dan spiritual. Kamali menyebutkan bahwa konsep seperti keadilan (‘adl) dan rahmat (kasih sayang) adalah inti dari hubungan manusia dalam Islam.
Moderasi Beragama sebagai Solusi
Moderasi beragama telah menjadi fokus utama dalam menjaga kerukunan di Indonesia. Kementerian Agama RI, melalui program Kampung Moderasi Beragama (KMB), mendorong dialog antarumat beragama, pemberdayaan masyarakat, dan penguatan nilai-nilai toleransi. Program ini sejalan dengan visi nasional yang tertuang dalam Perpres No. 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Indikator moderasi beragama mencakup empat aspek utama:
- Komitmen kebangsaan: Menempatkan Pancasila sebagai dasar kehidupan bermasyarakat.
- Anti kekerasan: Menolak ekstremisme dalam bentuk apa pun.
- Toleransi: Menghormati keyakinan orang lain.
- Menghargai kearifan lokal: Memelihara tradisi yang memperkuat persatuan.
Pentingnya Dialog Antarumat Beragama
Diskusi dan dialog merupakan sarana penting untuk membangun pemahaman dan menghindari konflik. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 mengatur pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), yang bertugas:
- Melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat.
- Menyalurkan aspirasi masyarakat keagamaan.
- Mensosialisasikan peraturan terkait kerukunan umat beragama.
Kesimpulan
Islam, sebagai agama mayoritas, memiliki tanggung jawab moral untuk menciptakan suasana yang inklusif, toleran, dan harmonis. Sebagaimana dikatakan oleh Gus Dur, “Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya.” Ungkapan ini mengingatkan kita bahwa toleransi bukan sekadar pilihan, melainkan kewajiban. Dengan terus memperkuat moderasi beragama, Indonesia dapat menjadi teladan keberagaman yang damai di tengah dunia yang penuh tantangan.
gambar ilustrasi oleh Alex Borghi berjudul Photo of People Riding on Horses yang diunduh dari laman https://www.pexels.com/photo/photo-of-people-riding-on-horses-2291648/
Referensi
Madjid, Nurcholish. (1992). Islam: Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Jakarta: Paramadina.
Kamali, Mohammad Hashim. (2002). Freedom, Equality, and Justice in Islam. Cambridge: Islamic Texts Society.
Al-Ghazali. (1993). Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyya.