Kumaini Hayattullah
Penyuluh Agama Islam, Kantor Urusan Agama, Kecamatan Siulak
Agama dalam kehidupan masyarakat Indonesia bukan hanya kumpulan tuntunan ritual ibadah dan doktrin moral yang terkandung dalam kitab suci. Lebih dari itu, agama merupakan model perilaku yang tercermin dalam tindakan nyata. Secara aksiologis, agama mampu mendorong penganutnya memiliki watak jujur, dinamis, kreatif, serta berkemajuan.
Islam sendiri memandang bahwa agama tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah (habl min Allah). Namun, juga mengatur dan memberi arah kehidupan dalam hubungan antarumat manusia (habl min al-Nas) yang membentuk peradaban hidup yang utama.
Dalam kehidupan kebangsaan di Indonesia, fungsi agama dan peran umat beragama sangatlah penting. Terutama dalam membangun spiritualitas, moralitas dan keadaban masyarakat. Di sinilah letak esensi agama dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia (Nasir, 2019).
Secara antropologis memang bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat Religius yang tidak dapat lepas dari Agama (UU No. 1 PNPS 1965). Sejak berabad-abad yang lalu, baik kepercayaan setempat maupun kehadiran agama seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, maupun Buddha tidak bisa terlepas dari perjalanan sejarah Indonesia. Haedar Nasir menyebut bahwa siapa yang menjauhkan agama dari kehidupan bangsa Indonesia sama dengan mengingkari jati diri keindonesian (Nasir, 2019).
Namun, di sisi lain agama juga kerap menyulut konflik yang tidak berkesudahan. Keberagaman rakyat Indonesia baik suku, etnis, maupun ras, turut berdampak terhadap perbedaan dalam memahami ajaran-ajaran agamanya. Tidak hanya secara eksternal, bahkan perbedaan pemahaman agama secara internal juga sering memicu percekcokan.
Kita dapat melihat pada fenomena sekarang. Konflik sosial kerap mencuat hanya karena perbedaan paham dan aliran keagamaan atau perbedaan keyakinan. Misalnya tentang tradisi tahlilan hingga ucapan selamat natal yang tentu bukan isu baru lagi. Setiap orang dengan kecenderungan dan afiliasi yang berbeda-beda memiliki sudut pandang yang berbeda pula.
Padahal, sebenarnya mereka juga berhak menyatakan dan mengekspresikan perbedaan. Akan tetapi, adanya faktor lain sering membuat perbedaan yang aslinya biasa menjadi luar biasa serta memicu konflik sosial yang lebih besar (Bimas Islam, 2022).
Kita tahu bahwa keberagaman agama merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari jati diri bangsa Indonesia. Lantas, sebagai agama dengan penganut terbesar di Indonesia, bagaimana Islam memandang keberagaman dalam beragama?
Islam, Keberagaman, dan Beragama
Sebelum membahas lebih lanjut, kita perlu memahami bagaimana esensi dari Islam itu sendiri. Islam berasal dari kata سلم yang berarti selamat. Kata ini diambil dari masdhar أسلم – يسلم – اسلاما yang berarti ketundukan, kepatuhan (Munawwir, 1997), dan penyerahan diri (Qal’aji, 2010). Sedangkan secara terminologi Islam berarti penyerahan atau penundukan diri secara total setiap makhluk kepada Allah SWT.
Esensi makna Islam ialah perdamaian. Seorang muslim adalah orang yang membuat perdamaian dengan Tuhan dan manusia. Damai dengan Tuhan berarti tunduk dan patuh kepada-Nya. Sementara damai dengan manusia berarti meninggalkan perbuatan yang buruk, menyakitkan, dan merugikan orang lain (Usman, 2021).
Di sisi lain, istilah keberagaman berasal dari kata ragam yang dalam KBBI memiliki arti macam, jenis, corak dan tingkah laku. Keberagaman dapat diartikan dengan sikap saling memahami antara perbedaan satu dengan perbedaan yang lain.
Secara luas keberagaman merupakan paham yang menghargai adanya perbedaan dalam suatu masyarakat. Setiap kelompok masyarakat bebas untuk mengekspresikan budayanya. Masing-masing dari mereka hidup dengan toleran meski berbeda suku, agama, adat istiadat, maupun bahasa.
Sedangkan beragama berasal dari kata agama yakni ajaran. Terminologi ini dapat diartikan sebagai sikap seseorang dalam memeluk ajaran yang diyakininya. Inti dari beragama adalah ketundukan. Yakni tunduk terhadap setiap hal yang telah menjadi aturan dan ketentuan Tuhan, tanpa harus mengetahui tujuan dan hikmahnya terlebih dahulu (Muhajir, 2017).
Pada dasarnya, Indonesia telah memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menganut agama yang mereka yakini. Dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.”
Artinya negara akan melindungi, menjamin, membina dan mengarahkan kehidupan beragama sesuai dengan kepercayaan yang mereka anut. Dalam hal ini, pemerintah menyediakan sarana dan prasarana ibadah bagi semua agama tanpa membedakan agama yang satu dengan yang lainnya.
Selain itu, pemerintah juga memberikan kesempatan terhadap setiap pemeluk agama untuk menjalankan keyakinannya dengan tenang. Upaya untuk merealisasikan keagamaan dan kebangsaan menjadi bagian penting untuk mewujudkan tatanan masyarakat dan bangsa Indonesia yang santun, damai dan menghargai perbedaan.
Potret Keberagaman Indonesia
Indonesia tergolong sebagai Negara dengan penduduk atau masyarakatnya yang majemuk (beragam). Masyarakat majemuk terdiri atas berbagai golongan agama, suku bangsa dan kelompok-kelompok yang berbeda-beda. Mereka saling berkelindan membentuk kesatuan yang dikenal dengan Bhinneka Tunggal Ika.
Masyarakat Indonesia juga beragam dalam hal kepemelukan agama. Berdasarkan penjelasan atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen (protestan), Katolik, Hindhu, Buddha dan Konghucu (Konfusianisme).
Menurut hasil sensus 2010, terdapat 87,18% dari 237.641.326 Penduduk Indonesia pemeluk Islam, 6,96% Protestan, 2,9% Katolik, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Konghucu, 0,13% agama lainnya, dan 0,38% tidak terjawab atau tidak ditanyakan (Nasir, 2019).
Keberagaman tersebut telah terbentuk lama seiring dengan kehadiran agama-agama tersebut di Indonesia yang sudah berabad-abad lamanya. Mengingat keberagaman seseorang dibangun atas dasar keyakinan, maka logikanya tidak boleh ada paksaan dalam agama.
Tidak boleh ada paksaan untuk meyakini atau tidak meyakini suatu agama. Hal ini merupakan salah satu prinsip dalam agama Islam, sebagaimana tercermin dalam firman Allah SWT :
“Dan jikalau tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang dimuka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang beriman semua?” (Q.S. Yunus 99)
Toleransi sebagai Prinsip Dasar Keberagaman
Hal mutlak yang harus dijadikan prinsip dalam kehidupan beragama ialah toleransi. Hal ini berangkat dari kesadaran bahwa segala perbedaan, termasuk perbedaan dalam beragama merupakan fitrah kemanusiaan.
Mengingkari perbedaan berarti mengingkari fitrah. Melalui toleransi, tidak diperlukan upaya penyatuan agama. Begitu juga tidak perlu usaha untuk menciptakan keyakinan bahwa semua agama benar.
Sebab, menurut Afifudin Muhadjir, jika terdapat keyakinan bahwa semua agama benar, maka tidak diperlukan lagi adanya toleransi dalam agama (Muhajir, 2017). Mari kita menilik surah al-Hujurat ayat 13 berikut ini:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al-Hujurat, 13)
Dari ayat di atas, ditegaskan bahwa terjadinya berbagai bangsa, berbagai suku hingga keterperinciannya yang lebih kecil, bukanlah agar mereka bertambah lama bertambah jauh. Namun, supaya mereka saling kenal-mengenal. Saling memahami satu sama lain, tanpa membedakan suku, ras, dan agama. Justru dengan perbedaan tersebut kita dapat bersinergi antara satu dengan lainnya.
Dalam paham keagamaan, diharapkan masyarakat Indonesia bersikap toleran, serta menerima dan menghargai berbagai budaya yang beraneka ragam di Indonesia.
Dalam Kaidah fikih disebutkan;
المتعدي أفضل من القاصر
“Amal yang memiliki manfaat umum lebih utama daripada yang bermanfaat terbatas.”
Sebagai makhluk sosial, dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak akan pernah lepas dari interaksi antar sesama. Karena itu, islam menekankan untuk saling berbagi kebaikan antarsesama dan saling bantu-membantu untuk menggapai kemaslahatan.
Moderasi untuk Harmonisasi
Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat Indonesia hadir dengan perbedaan kultur (budaya), sosial, dan karakter di tengah masyarakat dunia yang demikian beragama (pluralis).
Sesuai dengan sunnatullah, bahwa dunia ini dihuni oleh berbagai suku bangsa dan kelompok-kelompok. Tujuan utamanya tidak lain sebagaimana dalam surat al-Hujurat ayat 13, supaya manusia saling mengenal dan bekerja sama dalam hal kebajikan dan ketakwaan, bukan dalam aktivitas berdosa dan bermusuhan. Terlebih memaksa seseorang untuk memeluk agama yang diyakininya. Kalau bahasa Al-Qur’annya dalam Q.S Al-Baqarah ayat 256, لا اكراه في الدين, tidak ada paksaan dalam beragama.
Oleh karena itu, menurut hemat saya, esensi dari Islam ialah menjunjung sikap toleransi dan moderasi dalam keberagaman. Bersikap moderat atau popular dengan Istilah Washatiyah, merupakan perintah Allah sebagaimana termaktub dalam surat al-Baqarah ayat 143. Tidak heran jika kemudian moderasi beragama menjadi visi yang telah lama digaungkan oleh Kementerian Agama Indonesia. Di sinilah peran Penyuluh Agama Islam untuk selalu memperkenalkan sikap moderat dan toleransi di masyarakat agar terciptanya negeri yang damai, tentram dan sejahtera.
Referensi
Bimas Islam, Moderasi Beragama Perspektif Bimas Islam, (Jakarta: Sekretariat Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama, 2022)
Muhajir, Afifuddin, Fiqh Tata Negara, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2017)
Nashir, Haedar, Indonesia dan Keindonesiaan, (Yogyakarta: Penerbit Suara Muhammadiyah, 2019)
Warson Munawwir, Ahmad, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997)
Qal’aji, Muhammad Rawas, Mu’jam Lughah Fuqaha, (Beirut, Dar al-Nafais, 2010),
Usman , Suparman, Memasyarakatkan Syariah dan Mensyar’ikan Masyarakat, (Jakarta: Kholam Publishing, 2021)
Illustrasi diunduh dari https://www.pexels.com/photo/photo-of-crowd-of-people-gathering-near-jama-masjid-delhi-2989625/ oleh Chattrapal (Shitij) Singh berjudul Photo Of Crowd Of People Gathering Near Jama Masjid, Delhi