HAM: Apa dan Mengapa
Tidak ada definisi tunggal tentang HAM karena tergantung dari sisi mana kita melihatnya, filosofis ataukah hukum, misalnya. Dalam Encyclopedia of Philosophy, HAM (human rights) diartikan sebagai “hak yang melekat pada diri manusia dan berfungsi sebagai jaminan moral bagi tuntutan akan pemenuhan standar minimal hidup”. Menurut John Locke, manusia sejak lahir telah dianugerahi oleh Tuhan dengan hak-hak kodrati (hidup, kebebasan, hak milik) yang tidak bisa diganggu-gugat bahkan oleh negara sekalipun (Locke, 1964: 4). Dengan kata lain, HAM adalah hak-hak yang dimiliki oleh setiap orang karena kodratnya sebagai manusia, bukan pemberian negara atau masyarakat. Sebagai hak-hak yang melekat pada diri manusia tanpa terkecuali (universal), HAM tidak bergantung pada ada tidaknya hukum yang mengaturnya karena pemenuhannya merupakan hak dan kewajiban moral yang terkait dengan martabat manusia itu sendiri.
Kenyataannya, manusia kadang menjadi ‘serigala bagi sesamanya’ sebagaimana sejarah telah membuktikan; harkat dan martabat manusia tiada arti di tengah berkecamuknya perang, genosida, dan nafsu menjajah bangsa lain. Makanya, perlu dibuat seperangkat aturan untuk menjamin pemenuhan hak-hak kodrati itu. Pada 10 Desember 1948, negara-negara yang tergabung dalam PBB, setelah melalui rapat-rapat panjang, mendeklarasikan apa yang kemudian dikenal dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM); dokumen ini berisi 30 pasal yang disepakati sebagai norma atau standar umum HAM dan dimulai dengan penegasan bahwa “Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan” (Pasal 1). Pasal ini juga menjadi pondasi dari keseluruhan bangunan HAM: kebebasan, martabat kemanusiaan, kesetaraan, dan persaudaraan antara sesama manusia (Scharffs, 2022: 142).
Sampai di tahap ini DUHAM masih menjadi norma yang hanya mengikat secara moral (soft laws) tapi tidak secara hukum (hard laws). Baru delapan belas tahun kemudian pada 1966, Komisi HAM PBB (UNCHR) mengesahkan dua kovenan penting HAM yang menjadi instrumen yang mengikat secara hukum bagi negaranegara yang mengadopsinya (ratifikasi). Dua dokumen itu adalah Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (KIHSP) dan Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB). Selain dua konvensi ini, Indonesia sendiri sudah meratifikasi sejumlah konvensi yang lain, yaitu: Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Konvensi Hak Anak, Konvensi Menentang Penyiksaan, Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, dan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas. Komitmen Indonesia terhadap perlindungan HAM juga dibuktikan dengan diterbitkannya sejumlah legislasi yang khusus mengatur HAM, seperti UU tentang HAM, UU tentang Pengadilan HAM, UU tentang Kebebasan Informasi Publik, UU tentang Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (Kemenkum HAM RI, 2014). Dengan demikian, instrumen perlindungan HAM di Indonesia sudah sangat memadai sekalipun penerapannya di lapangan kadang masih dipertanyakan.
UU HAM 39 Tahun 1999 mendefinisikan HAM sebagai berikut: “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.” Dilihat dari pengertian ini, kewajiban untuk melindungi HAM sebenarnya adalah tugas kita semua sebagai manusia. Hanya saja dalam konseptualisasi HAM, jika warga negara berposisi sebagai ‘pemegang hak’, negara berperan sebagai ‘pemangku kewajiban’ karena kekuasaan atau kewenangan besar yang dimilikinya; maka, negara diberi beban tanggung jawab lebih untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) HAM bagi warga negaranya. Hal ini sematamata untuk mencegah atau meminimalisasi terjadinya pelanggaran HAM, terutama oleh negara. Pelanggaran HAM, menurut UU ini, adalah “setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”.
Gambar dalam artikel ini berjudul “Man In Blue And White Long Sleeve Shirt Holding Human Rights Text” yang diunduh di https://www.pexels.com/photo/man-in-blue-and-white-long-sleeve-shirt-holding-human-rights-text-5935751/
Karya Sora Shimazaki
Artikel ini merupakan bagian dari buku Keragaman beragama: Relasi Islam dan HAM bagian Kebebasan Beragama Pengertian, Sejarah, dan Konsep Dasar yang ditulis oleh Maufur