Hak Hidup: Aborsi dalam Perspektif Islam dan HAM
Dalam Islam, hak hidup merupakan hak pertama dan utama dalam rangkaian hak asasi manusia. Al- Qur’an sebagai sumber doktrinal Islam yang pertama menganggap bahwa pembunuhan terhadap seorang manusia sama dengan pembunuhan terhadap seluruh manusia (Q.S. al-Baqarah: 194, Q.S. al-Maidah: 32, Al- Syura: 40 dan An-Nisa: 93). Di Indonesia, hak hidup dijamin dalam UUD 1945 pasal 28A dan pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Hak hidup ini melekat untuk semua manusia, bahkan termasuk bayi yang belum lahir. Lalu bagaimana dengan kasus aborsi yang dianggap menghilangkan kesempatan hidup bagi janin.
Di Indonesia, hukum aborsi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Pasal 75 ayat (1) dan (2) Undang-undang Kesehatan menyebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi, kecuali jika ada indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat pemerkosaan yang dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban. Indikasi kedaruratan medis yang dimaksud adalah: a. Kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu; dan/atau b. Kesehatan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita penyakit genetik berat dan atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan. Aborsi karena indikasi kedaruratan medis diperbolehkan dalam hukum Islam karena ada mashlahah atau untuk menghilangkan madharat, yakni menyelamatkan nyawa dan perlindungan hak hidup ibu (al-Darwisyi, 2003, 19/133).
Jika merujuk pada al-Qur’an dan hadis, memang tidak didapati teks yang secara khusus menjelaskan hukum aborsi. Namun, Allah melarang manusia membunuh anak karena alasan ekonomi dan menegaskan larangan membunuh manusia secara umum dalam Q.S. al-Isra’: 31-33. Dalam diskursus hukum Islam, para fukaha menghubungkan hukum aborsi dengan masa sebelum dan sesudah ruh ditiupkan ke janin (nafahat al-ruh), yakni sekitar empat bulan atau 120 hari usia kandungan.
Fukaha klasik sepakat mengharamkan aborsi ketika usia kandungan di atas empat bulan atau ketika ruh sudah dimasukkan ke jasad janin, kecuali pada kondisi darurat. Hal ini didasarkan pada kaidah fikih al-dharar al-asyadd yuzal bi al-dharar al-akhaff atau kemadharatan yang lebih besar dihilangkan dengan kemadharatan yang lebih kecil (al-Zarqa, 2009, 199-201). Sedangkan saat sebelum terbentuknya janin atau sebelum ditiupkannya ruh ke jasad janin, fukaha klasik berbeda pendapat tentang hukum aborsi pada masa tersebut. Sebagian fukaha menyatakan boleh melakukan aborsi sebelum 120 hari kandungan (Abidin, 1979, 6/591; Qudamah, n.d, 7/802), sebagian lainnya berpendapat haram ketika sudah berbentuk segumpal daging (Al-Mawardi, 1999, 12/405), dan sebagian lain menegaskan bahwa hukum aborsi, baik sebelum maupun sesudah ditiupkan ruh adalah haram (al-Ghazali, n.d, 2/51; Al-Dasuqi, n.d, 2/266-267).
Pada umumnya para fukaha klasik menyampaikan pendapatnya di atas berkaitan dengan aborsi dalam kondisi normal, dan tidak menyinggung hukum aborsi dalam konteks korban pemerkosaan. Dalam bukunya Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, Husain Muhammad menyampaikan kesulitan menemukan hukum aborsi bagi korban pemerkosaan dalam literatur kitab-kitab fikih klasik. Lebih lanjut ia berasumsi bahwa kejahatan seperti pemerkosaan jarang terjadi di masa lalu. Namun demikian, sejumlah kaidah fikih dapat dijadikan landasan untuk memberikan alternatif jawaban atas masalah aborsi korban pemerkosaan (Muhammad, 2002, 164).
Berawal dari tragedi Bosnia tahun 1995, sebagian fukaha kontemporer mengajukan jawaban lain yang berbeda dengan ulama fikih klasik. Muhammad Sa’id al-Buthi membolehkan aborsi bagi perempuan korban pemerkosaan jika janinnya belum bernyawa, sebab ia dipaksa melakukan perzinaan, sehingga bisa dianggap sebagai kondisi darurat (al-Buthi, 1988, 151). Senada dengan al-Buthi, Sa’d al-Din al-Hilali, Hani al-Jubair, dan Rawas Qal’aji juga menegaskan bolehnya aborsi bagi korban pemerkosaan sebelum ditiupkannya ruh ke jasad janin (Hilali, n.d, 334; al-Jubair, 2005, 7; al-Qal’aji, 2000, 1/62).
Lebih lanjut, Sa’d al-Din al-Hilali merinci syarat-syarat dibolehkannya aborsi bagi perempuan korban perkosaan dalam tulisannya yang berjudul Ijhadh Janin al-Ightishab fi Dhau’ Ahkam al-Syari’ah al-Islamiyah. Pertama, kasus perkosaan harus terbukti. Kedua, aborsi harus dilakukan langsung setelah hilangnya sebab, yaitu pemerkosaan. Jika wanita tersebut terlambat melakukan aborsi sedangkan dia mampu melakukannya, maka ia dianggap merelakan dan mengakuinya. Hal itu didukung oleh riwayat Umar r.a. bahwa ia berkata “Perempuan mana saja yang mengakui bapaknya sekerlingan mata, maka ia tidak boleh menafikannya” (al- Shan’ani, n.d, 2/285). Ketiga, janin harus belum berbentuk manusia dan belum bernyawa. Keempat, aborsi harus dilakukan di bawah pengawasan medis yang terpercaya untuk menjaga keselamatan ibu. Kelima, aborsi harus dilakukan atas permintaan wanita yang diperkosa di depan lembaga resmi tertentu untuk memastikan dan membuktikan adanya kasus pemerkosaan, menjaga kebenaran prosedur dan menangkap pelakunya (Hilali, n.d, 334).
Dalam Mazhab Syafi’i, kebolehan aborsi untuk perempuan korban perkosaan termasuk dalam upaya memelihara jiwa, karena ada dua kondisi yang sama-sama membahayakan. Pertama, mempertahankan kehamilan akan membahayakan jiwa calon ibu. Perkosaan yang berujung pada kehamilan korban akan memberikan dampak negatif baik secara fisik maupun mental bagi korban, yang pada akhirnya dapat membahayakan kondisi jiwa calon ibu. Kedua, jika kondisi jiwa calon ibu bermasalah, maka janin dalam kandungan juga akan terganggu keselamatannya. Kehidupan janin dalam kandungan sangat bergantung dengan kehidupan calon ibu (Muliana, 2022, 318).
Oleh sebab itu, kematian janin dengan sengaja merupakan sebuah madharat, tetapi kondisi yang membayakan calon ibu dikarenakan menyelamatkan janin juga termasuk madharat, bahkan madharat yang ditanggung ibu lebih besar daripada kemadharatan kematian janin. Dalam konteks ini, syariat Islam sesuai dengan tujuannya mengambil jalan madharat yang paling ringan antara dua madharat, yakni menggugurkan janin tersebut dan menyelamatkan jiwa calon ibu. Karena kehidupan ibu sudah pasti dan ia memiliki hak dan kewajiban sebagai manusia normal pada umumnya. Tidak logis apabila mengorbankan ibu demi kehidupan janin yang belum mempunyai kewajiban dan kehidupan yang pasti atau mandiri.
Karena itu, jika mempertahankan kehamilan akan berdampak pada terancamnya jiwa calon ibu dan berpengaruh negatif pada janin, pengambilan resiko kemadharatan yang lebih ringan lebih diutamakan (menggugurkan janin), daripada mempertahankan bahaya yang lebih besar (mempertahankan kandungan dengan resiko beban mental, fisik dan material yang ditanggung calon ibu).
Dari sini dapat disimpulkan bahwa aborsi korban perkosaan dapat dibenarkan secara hukum jika kehamilan membahayakan kondisi jiwa calon ibu berdasarkan pertimbangan dan rujukan dari konselor dan tenaga medis yang kompeten di bidangnya. Hal ini sejalan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia dalam pasal 75 (2) UU No. 36 Tahun 2009 yang menyatakan aborsi dapat dilakukan sebab “kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan”. Bagaimanapun, kasus pemerkosaan memberikan dampak trauma dan kepedihan yang sangat mendalam, bahkan seringkali penderitaan tersebut terus membayangi korban sepanjang hidupnya.
Artikel ini merupakan bagian dari buku Keragaman beragama: Relasi Islam dan HAM bagian Hak Asasi Manusia dalam Sumber Doktrinal Islam Hak Hidup dan Kebebasan Beragama yang ditulis oleh Subi Nur Isnaini