Hak Anak dalam Keluarga Pemeliharaan Anak, Kepentingan Terbaik, dan Kebebasan Beragama (Bagian 2)

Pengasuhan dan Agama Pengasuh: Norma dan Praktik

Pengasuhan anak merupakan isu yang tidak bisa dilepaskan dari konteks pernikahan. Jika pengasuhan anak dari pasangan yang masih dalam ikatan pernikahan tidak menimbulkan aturan yang detail, pengasuhan anak yang orang tuanya bercerai diatur dengan detail. Dalam hal ini, fikih menetapkan bahwa pengasuhan anak diatur berdasarkan beberapa isu terkait anak, yaitu usia dan jenis kelamin anak, dan kondisi serta karakter dari orang tua, termasuk agama, domisili, dan lain-lainnya (Zuhayly, 1984; Abu Zahrah, 1957: 477; Hamdani, 2002). Terkait dengan karakter dan sifat pengasuh, para ulama menetapkan sifat-sifat atau kondisi yang berbeda antara satu dengan lainnya. Kelompok Hanafiyah menyebutkan beberapa syarat yang harus dimiliki pengasuh. Syarat-syarat tersebut adalah pengasuh (suami atau isteri) tidak melakukan riddah (pindah agama), tidak fasik (melakukan ibadah atau menjalankan ajaran agama dengan baik), (isteri atau ibu si anak) tidak menikah lagi dengan suami baru kecuali suami barunya tersebut mempunyai sifat penyayang dan baik, dan tidak meninggalkan tempat (kota/rumah) kediaman. Sementara kelompok Syafi’iyah menjelaskan bahwa terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh pengasuh, yaitu berakal, merdeka, Muslim, penyayang, dapat dipercaya, berada di tempat kediaman asal, dan tidak menikah lagi dengan suami baru, kecuali suami pertama rela (Zuhayly, 1984; al Dimasqy, 1966).
Menurut para ulama, ibu lebih berhak atas pengasuhan anaknya ketika ia bercerai dengan suaminya. Namun, masa pengasuhan tidak diberikan kepada ibu selamanya (Zuhayly, 1984). Pengasuhan bisa dialihkan atau dipindahkan kepada pihak lain, dalam hal ini ayah si anak. Namun, batas pengasuhan anak oleh ibu ditentukan berbeda berdasarkan jenis kelamin anak tersebut. Para imam mazhab berbeda dalam penentuan batas usia pada saat pengasuhan anak perempuan dan anak laki-laki diberikan kepada ibu dan dialihkan kepada bapak.
Indonesia mengatur masalah ini dalam KHI. KHI menekankan ke-mumayyiz-an (usia di mana anak dapat membedakan antara yang baik dan buruk) anak. Pasal 105 KHI memberikan pengasuhan seorang anak yang belum mumayyiz yang ditetapkan batasnya 12 tahun kepada ibunya jika orang tua si anak bercerai. Anak, baik perempuan maupun laki-laki, yang berusia di atas 12 tahun, batas usia yang lebih tinggi dari batas usia yang dirujuk oleh para ‘ulama, atau sudah dianggap mumayyiz, diberi pilihan untuk menentukan siapa yang dia ingin jadikan sebagai pengasuhnya. Ketentuan yang ditegaskan berdasarkan konsep kepentingan terbaik ini dikritisi oleh beberapa ahli psikologi. Reza Indragiri Amriel (2014), misalnya, menganggap bahwa ketentuan pengasuhan cenderung mendasarkan pada jenis kelamin, bukan pada mentalitas, karaktek, dan kemampuan pihak pengasuh. Bagi saya, meskipun kritik ini mengarah pada realisasi kepentingan terbaik, tetapi Amriel tampak melupakan bahwa dalam sebuah aturan diperlukan ketentuan prinsipil yang berkaitan dengan satu aspek penting dalam pengasuhan, yang dalam hal ini usia. Terlebih, pasal berikutnya mengatur peralihan pengasuhan dari satu pihak ke pihak lain berdasarkan kepentingan terbaik bagi anak. Faktanya dalam praktik para hakim berupaya menafsirkan ketentuan pengasuhan dengan kritis.
Memang, kritik ini relevan jika dikaitkan pada fakta bahwa ketentuan syarat pengasuhan, termasuk agama, tidak dijelaskan dalam KHI dan UU Perkawinan. Ketentuan syarat pengasuhan hanya tergambar dalam pasal 156 yang mengatur kebolehan dialihkannya hak pengasuhan dalam kondisi tertentu, yang tentunya menerima penafsiran dari para penegak hukum, terutama para hakim dan para ahli hukum. Seperti akan disinggung di bawah, memang ketentuan agama dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun, pasal yang menjelaskan ketentuan syarat agama ini mengatur pengasuhan anak oleh pihak lain, ketika orang tua, ibu dan bapak serta kerabat dianggap tidak mampu atau tidak pantas menerima hak pengasuhan.

Artikel ini merupakan bagian dari buku Keragaman beragama: Relasi Islam dan HAM bagian Hak Anak dalam Keluarga Pemeliharaan Anak, Kepentingan Terbaik, dan Kebebasan Beragama yang ditulis oleh Euis Nurlaelawati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *