Pendahuluan
Konsep kepentingan terbaik bagi anak ditegaskan dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia sebagai konsekuensi dari keputusan Indonesia meratifikasi Convention on the Right of Children (Konvensi Hak Anak/KHA) pada 1990. KHA merupakan perjanjian internasional khusus yang menegaskan hakhak dasar anak. Untuk menjamin terselenggaranya perlindungan terhadap anak, KHA telah menetapkan empat prinsip, yaitu: nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak atas kelangsungan hidup dan perkembangan, dan penghormatan terhadap pandangan anak. Indonesia melangkah lebih jauh dengan memberlakukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan mengadopsi keseluruhan prinsip-prinsip dan pasal yang ada dalam KHA. Diperkenalkannya konsep kepentingan terbaik anak dalam KHA dan penerimaannya oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia menimbulkan kewajiban bagi pengadilan untuk mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak dari aspek finansial, fisik dan psikologis ketika menyelesaikan perkara-perkara yang berkaitan.
Dalam kaitannya dengan pengasuhan dan pengangkatan anak yang merupakan dua isu yang dipaparkan dalam artikel ini, konsep kepentingan terbaik bagi anak ditegaskan dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang dirumuskan untuk memberikan perlindungan terhadap anak dari diskriminasi dan penelantaran oleh orang tua mereka (dan pihak ketiga). Pasal ini menyatakan bahwa pemberian hak asuh kepada orang tua harus didasarkan pada empat prinsip sebagaimana disebutkan di atas. Menariknya, dalam peraturan perundang-undangan tentang hukum keluarga, konsep kepentingan terbaik bagi anak tidak dinyatakan secara eksplisit sebagai suatu prinsip yang harus dirujuk. Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang merupakan referensi utama bagi para hakim dalam memeriksa perkara di Pengadilan Agama, dan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 mengatur bahwa hak asuh anak yang berusia di bawah usia 12 tahun diberikan kepada ibu dan di atas 12 tahun ditetapkan berdasarkan pilihan anak. Dalam dua peraturan perundangundangan tersebut, konsep kepentingan terbaik bagi anak tergambar hanya dalam ketentuan terkait pengalihan hak asuh, seperti terbaca dalam pasal 156 yang mengatur bahwa hak asuh dapat dialihkan dari satu pihak ke pihak lain apabila diperlukan demi tercapainya kepentingan terbaik bagi anak.
Pengaturan prinsip kepentingan terbaik bagi anak secara umum diterima oleh para hakim dan para ahli hukum. Mereka mendukung penuh konsep tersebut dan menegaskan bahwa konsep tersebut dapat diimplementasikan dengan baik. Meskipun demikian, tidak ada standar yang jelas mengenai kepentingan terbaik anak yang harus dipegang dan pada kondisi apa konsep kepentingan terbaik perlu diterapkan. Hal ini telah menyebabkan ketidakseragaman interpretasi terhadap konsep dan munculnya berbagai keputusan dan praktik hukum yang beragam (Nurlaelawati, 2017; Fanani 2015). Terlebih, konsep ini sering dianggap bertabrakan dan tidak searah dengan prinsip lain, seperti prinsip kebebasan beragama. Artikel ini akan mendiskusikan interaksi kepentingan terbaik bagi anak dalam realisasi perlindungan terhadap anak dalam isu pengasuhan dan pengangkatan anak dengan prinsip kebebasan beragama. Beberapa kasus fenomenal akan didiskusikan. Sebelumnya akan dipaparkan norma hukum pengasuhan dan pengangkatan anak kaitannya dengan unsur atau syarat agama.
Artikel ini merupakan bagian dari buku Keragaman beragama: Relasi Islam dan HAM bagian Hak Anak dalam Keluarga Pemeliharaan Anak, Kepentingan Terbaik, dan Kebebasan Beragama yang ditulis oleh Euis Nurlaelawati