Mohammad Suud, Lc
Penyuluh agama memiliki peran strategis sebagai ujung tombak pemerintah dalam menyampaikan pesan-pesan agama sekaligus pembangunan kepada masyarakat. Berdasarkan Kepdirjen Bimas Islam Nomor 504 Tahun 2022, terdapat dua belas bidang utama yang menjadi fokus penyuluhan, seperti pemberantasan buta aksara Alquran, pemberdayaan zakat dan wakaf, moderasi beragama, hingga pemberantasan radikalisme.
Salah satu peran penting penyuluh agama adalah memperkuat pemahaman masyarakat tentang hak asasi manusia (HAM) dan kesetaraan gender. Kedua isu ini memiliki relevansi yang sangat mendalam dalam konteks keberagaman Indonesia, yang diwarnai oleh berbagai tantangan seperti diskriminasi gender, pernikahan dini, hingga ketimpangan akses terhadap hak-hak dasar. Artikel ini akan mengupas bagaimana penyuluh agama dapat memainkan peran tersebut secara optimal.
Moderasi Beragama dan Hak Asasi Manusia
Moderasi beragama adalah salah satu program unggulan Kementerian Agama yang bertujuan untuk menjaga kerukunan dan toleransi dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia. Penyuluh agama sebagai duta moderasi beragama diharapkan mampu menyampaikan pentingnya prinsip-prinsip toleransi, komitmen kebangsaan, anti-kekerasan, dan penghormatan terhadap kearifan lokal.
Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan ras. Keberagaman ini berpotensi menimbulkan konflik jika tidak dikelola dengan baik. Dalam hal ini, penyuluh agama memiliki tanggung jawab untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa setiap individu memiliki hak asasi yang harus dihormati. Hak-hak tersebut mencakup kebebasan berekspresi, berpendapat, dan menjalani kehidupan yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan hukum negara.
Melalui kelompok binaan yang dikelola, penyuluh agama dapat memfasilitasi diskusi yang mendorong masyarakat untuk menghargai perbedaan, menyelesaikan konflik dengan dialog, dan menanamkan semangat persatuan dalam keberagaman. Dengan demikian, penguatan moderasi beragama dapat menjadi alat efektif dalam menciptakan masyarakat yang damai dan inklusif.
Kesetaraan Gender dalam Perspektif Islam dan Undang-Undang
Islam sebagai agama raḥmatan lil-‘ālamīn menempatkan kesetaraan gender sebagai salah satu prinsip fundamental. Dalam kitab Maqāṣid al-Sharī‘ah, Ibnu Asyur menekankan bahwa tujuan syariat adalah untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan (al-musāwah). Sebagai manusia, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kedudukan yang sama karena berasal dari keturunan Nabi Adam AS.
Namun, dalam praktiknya, masih sering terjadi ketimpangan gender di masyarakat, terutama dalam hal kebebasan memilih pasangan hidup. Banyak perempuan yang menjadi korban pernikahan paksa atau menikah di bawah umur tanpa persetujuan mereka. Padahal, menurut Syaikh Ali Jum’ah dalam Al-Bayān limā Yushghil al-Adhhān, Islam memberikan hak penuh kepada perempuan untuk menerima atau menolak lamaran. Pernikahan harus didasarkan pada cinta dan kasih sayang, bukan paksaan.
Pemerintah Indonesia juga menunjukkan komitmen terhadap isu kesetaraan gender melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam peraturan tersebut, batas usia minimal untuk menikah ditetapkan menjadi 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan. Perubahan ini bertujuan untuk mencegah pernikahan dini yang dapat berdampak buruk pada kesejahteraan fisik, mental, dan sosial anak.
Penyuluh agama memiliki peran vital dalam mensosialisasikan regulasi ini kepada masyarakat. Dengan pendekatan agama dan hukum, mereka dapat memberikan pemahaman kepada para orang tua tentang pentingnya menghormati hak anak, termasuk kebebasan untuk memilih pasangan hidup dan menentukan waktu yang tepat untuk menikah. Penyuluhan ini harus dilakukan dengan pendekatan yang persuasif dan berbasis pada literatur keagamaan serta hukum yang relevan.
Tantangan dan Strategi Penyuluh Agama
Dalam menjalankan tugasnya, penyuluh agama dihadapkan pada berbagai tantangan. Salah satunya adalah rendahnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya HAM dan kesetaraan gender. Di beberapa wilayah, norma-norma budaya lokal yang tidak selaras dengan prinsip keadilan sering kali menjadi penghalang untuk mengubah pola pikir masyarakat.
Untuk mengatasi tantangan ini, penyuluh agama perlu mengembangkan strategi yang inovatif dan kontekstual. Misalnya, mereka dapat menggunakan pendekatan dialog interaktif, memanfaatkan media sosial untuk penyebaran informasi, atau mengadakan seminar dan lokakarya yang melibatkan tokoh masyarakat. Selain itu, penyuluh agama harus mampu memilah dan memilih pandangan dari literatur keagamaan yang relevan, moderat, dan sesuai dengan konteks lokal.
Penyuluh agama juga perlu meningkatkan kapasitas diri melalui pelatihan dan pembelajaran berkelanjutan. Dengan pengetahuan yang mendalam, mereka dapat menjadi agen perubahan yang efektif dalam menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan adil.
Penutup
Penyuluh agama memegang peranan penting dalam memperkuat pemahaman masyarakat tentang HAM dan kesetaraan gender. Dengan membumikan pesan-pesan moderasi beragama dan menyosialisasikan regulasi yang mendukung kesetaraan, mereka dapat berkontribusi pada terciptanya masyarakat yang damai, inklusif, dan adil.
Dalam mengaktualisasikan peran tersebut, penyuluh agama perlu cerdas dalam menyampaikan pandangan keagamaan yang kontekstual dan relevan dengan kebutuhan masyarakat. Mereka juga harus mampu mengelola dinamika sosial dan budaya lokal untuk memastikan bahwa nilai-nilai universal seperti keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.
Dengan komitmen dan dedikasi yang tinggi, penyuluh agama dapat menjadi pilar penting dalam upaya menciptakan masyarakat yang menghargai hak asasi manusia dan menjunjung tinggi kesetaraan gender.
gambar ilustrasi oleh Max Ravier berjudul Person on Plant Field yang diunduh dari laman https://www.pexels.com/photo/person-on-plant-field-2253815/