Oleh: Azmi, Lc
Penyuluh Agama Islam di KUA Glumpang Tiga, Kab. Pidie, Prov. Aceh
Hak Asasi Manusia atau popular disebut dengan HAM dalam catatan sejarahnya diawali saat adanya respon terhadap tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak dasar manusia sehingga memicu hukuman bagi para pelakunya. Beberapa catatan sejarah menunjukan bahwa kaum-kaum terdahulu seperti kaum Ad, Tsamud, dan juga kaum Sodomi telah diceritakan dalam Al-Qur’an sebagai kaum yang mendapatkan hukuman atas perbuatannya yang melakukan pengkerdilan terhadap hak asasi manusia. Catatan sejarah lain menggambarkan kondisi kegelapan bangsa Romawi yang melakukan pelanggaran terhadap HAM. Pelanggaran tersebut berupa penjajahan kepada manusia dengan simbol perbudakan, manusia dianggap seperti layaknya barang dan bahkan eksistensi hak dari perempuan sama sekali tidak diakui bahkan dihargai. Samahalnya yang terjadi di fase arab jahiliyah, terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan dengen kejam seperti mengubur hidup-hidup anak perempuan. Namun pelanggaran ini rupanya rupanya tidak begitu sadis jika dibandingkan dengan bagaimana kekejian bangsa Eropa dalam abad kegelapannya yakni dengan membabat habis sisi kemanusian seperti yang terjadi dalam peristiwa pembunuhan melalui guilotine (Ahmad halabi, 1992). Meskipun demikian, sejarah tetap mencatat bahwa ada upaya-upaya perlawanan terhadap pelanggaraan HAM yang terjadi, baik melalui utusan (nabi) atau bahkan gerakan-gerakan. Dalam catatan sejarah Islam, sejak Nabi Adam sampai sampai kepada Nabi Muhammad SAW sebagai rasul/nabi penutup, ditugaskan oleh Allah SWT untuk menjaga stabilitas dan menghargai hak-hak dasar manusia. Nabi Muhammad SAW saat tinggal di Madinah telah sukses membangun peradaban manusia yang baru dan mulia. Beliau telah sukses membangun negara kota yang madani, yang menyanjung tinggi nilai-nilai HAM. Hal ini juga kembali dipertegas manakala Rasulullah melakukan haji wada. Rasulullah menegaskan bahwa tak ada bedanya orang Arab dan luar Arab kecuali taqwa (Muhammad Imarah, 2012). Selain itu, dalam surat Al-Hujurat ayat 13 mengaskan bahwa manusia diciptakan untuk saling kenal mengenal satu sama lain, artinya manusia dalam keadaan yang sama dan lahir dalam keadaan merdeka. Selain itu, selaras dengan semangat Islam dalam menghargai HAM, di Barat juga semangat untuk memperjuangan HAM semakin terbuka lebar, terus dieksplorasi secara luas, dan masif. Sehinga dikatakan bahwa barat telah melegitimasi hal-hal yang di luar batas dan kewajaran serta jauh daripada norma-norma yang selama ini dianut manusia. Pasca digaungkannya slogan Liberte, Egalite, dan Fratenite oleh Jhon Lucke (1632-1704). Gerakan memperjuangan kebebasan semakin dasyat terjadi sehingga lahirlah apa yang disebut dengan Revolusi Prancis tahun 1789 (Muhammad Imarah, 2012). Pasca revolusi tersebut, timbullah kesadaran baru bagi masyarakat Barat tentang upaya mendefinisikan kembali apa makna kebebasan dan kemerdekaan yang berkaitan langsung dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Slogan dengan tiga varian ini dengan serta merta telah membuat kaum buruh bangkit menyatakan hak-haknya sebagai manusia yang sebelumnya diberangus penguasa. Dalam bebarapa dekade, narasi ini terus dipertahankan oleh Barat, dimana penulis mencatat banyak sekali ditemukan kerancuan dan sisi negatif akibat nilai-nilai kebebasan yang justru telah melabrak ambang batas kemanusian. Islam dan Hak Asaki Manusia: Sebuah Perjalanan dan Penghayatan Islam sendiri telah memiliki konsep yang jelas terkait Hak Asasi Manusia (HAM), ini terlihat dari setiap Nabi dan Rasul yang diutus Allah SWT sebetulnya bertugas untuk menegakkan dan menetapkan HAM agar terus berjalan (Rusydi Ali Muhammad, 2014). Sebagai contoh pemusnahan Kaum Sodom pada era Nabi Luth, ini dipahami sebagai sebab akibat dari adanya pelecehan terhadap HAM itu sendiri, dimana Kaum Sodom telah menyalahi fitrahnya sebagai manusia (Amru Khalid, 2007). Islam adalah “agama rahmatan lil alamin”, slogan seperti ini menjadi tolak ukur yang jelas bagaimana sebanarnya Islam memandang HAM. Islam adalah agama yang memuliakan manusia, bahkan Rasulullah telah mencontohkanya, saat itu jenazah orang kafir lewat di depan Rasulullah, beliau pun dengan serta merta berdiri untuk menghormatinya. Sikap Rasulullah ini kemudian diprotes oleh Umar bin Khattab, Rasulullah mengatakan bahwa dia juga manusia yang harus dimuliakan. Dari contoh ini, Islam memandang HAM dengan lembut sekali, namun yang masih menjadi permasahalan adalah fenomena umat Islam yang masih kurang memahami esensi HAM dalam Islam bahkan naifnya sebagian sarjana Islam memahami Islam dalam persfektif Barat dengan baik. Salah satu praktik nyata Islam sebagai agama yang memperjuangkan HAM adalah penghapusan praktek perbudakan yang begitu merajalela pada era pra Islam. Apalagi kaum Yunani dan Romawi, manusia seperti tak ada harganya dengan diperjual belikan. Islam berhasil dalam hal ini walaupun di kemudian hari para ulama klasik tetap memuat tema perbudakan dalam mangnum opus mereka yang kemudian dikaji sampai hari ini, artinya posisi HAM masih saja menjadi isu yang sangat baik dalam Islam. Bahkan hukum Islam pun memberikan ruang seluas-luasnya kepada pengadilan untuk mengadili manusia yang terlibat dalam pelanggaran HAM, bahkan Al-Qur’an dalam hal ini jelas menyebutnya melalui ayat-ayat tentang mencuri dan zina. Bahkan praktik hukum Qisas dalam Al-Qur’an dimaknai sebagi bentuk keadilan agar pelaku pelanggran HAM tidak melakukan perbuatannya kembali. Islam juga mengatur bagaimana hikmah profesionalitas laki-laki dan perempuan dengan melibatkan aspek psikologis sebagai laki-laki dan perempuan, dimana proporsi hak waris dan persoalan menjadi seorang hakim, artinya semua aspek diperhatikan dalam Islam dan konsep seperti ini tak dikenal di Barat. Hak asasi manusia dalam perfektif Islam haruslah dipahami dalam konteks keislaman secara ilmu bukan keislaman individual. Lahirnya pemberontakan kelompok ISIS, terlepas dari pemberitaan media merupakan salah satu kegagalan penganut Islam dalam memahami HAM secara benar. Islam di Barat sekarang terus tumbuh secara kuantitas juga kualitas dengan hadirnya para agamawan, tetapi apa yang terjadi adalah konflik islamophobia atau ketakutan terhadap Islam, hal ini menjadi na’if manakala konsep Islam sendiri sangat menyanjung Hak Asasi Manusia, sehiangga menjadi tugas para agamawan untuk mengenalkan otentisitas konsep HAM Islam kepada dunia Barat. Pertemuan tokoh-tokoh Islam di Abu Dhabi tahun 1977 menjadi bukti bahwa kaum agamawan ingin terus menguatkan konsep HAM dalam Islam yang disebut dengan Deklarasi Islam Universal Tentang Hak Asasi Manusia. Deklarasi ini terdiri dari 22 pasal, pasal pertama berbicara tentang hak untuk hidup, pasal kedua tentang hak kebebasan, selanjutnya hak persamaan, hak atas keadilan, hak atas pengadilan yang adil, hak atas perlindungan terhadap penyiksaan, hak atas perlindungan terhadap kehormatan dan nama baik, hak atas suaka, hak minoritas, hak hak atas kewajiban untuk ambil bagian dalam pelaksaan dan pengaturan urusan-urusan umum, hak atas kebebasan, kepercayaan, menyatakan gagasan dan berbicara, hak atas kebebasan berserikat, hak atas kebebasan beragama, tata ekonomi dan pengembangannya, hak atas perlindungan terhadap pendidikan sampai kepada hak memperoleh pendidikan sewajarnya. Semangat untuk menegaskan bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi HAM terus dibuktikan, tahun 1990 di Kairo misalnya diadakan deklarasi serupa yang disebut dengan Cairo Declaration on Human Right (Rusydi Ali Muhammad, 2014). HAM yang didefinisikan dalam Islam sesuai dengan apa yang telah tercantum dalam konsep Al-madinah al-fadhilah, begitu juga dengan khutbah haji wada’ Rasulullah SAW. Disini Rasululah tegas mengatakan bahwa semua manusia dipandang sama kecuali kadar taqwanya kepada Tuhan. Selain itu, Piagam Madinah yang digagas Rasulullah juga merupakan gagasan brilian dalam membina HAM. Demokrasi dalam piagam Madinah adalah hubungan agama dan Negara yang telah mewariskan prinsip-prinsip yang tahan banting dalam menegakkan masyarakat pluralistik yang harmonis, Piagam Madinah merupakan karya besar (magnum opus) seorang Nabi Muhammad SAW. Lebih lanjut, dalam literatur kitab-kitab klasik menyebutkan bahwa kebutuhan dasar manusia meliputi jiwa, akal, keturunan, harta benda, dan agama. Membina Masyarakat Korban Pelanggaran HAM Masyarakat yang menjadi korban konflik akibat pelanggaran HAM sepatutnya harus terus diperhatikan, dalam masyarakat ini terdapat anak-anak korban konflik yang tidak hanya berhak mendpaatkan kehidupan yang layak tapi juga pendidikan dan pemahaman agama yang baik. Sebagai contoh di Kabupaten Pidie yang merupakan tempat kelahiran penulis dan merupakan wilayah basis konflik, dimana telah terjadi pelanggaran HAM berat dan telah diakui oleh Negara yaitu kasus Rumoh Geudong. Posisi Rumoh Geudong yang menjadi tempat pembataian warga sipil ini berada di Kecamatan Glumpang Tiga, tempat penulis memberikan bimbingan keagamaan yaitu di KUA Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh. Secara manusiawi, kehidupan masyarakat pasca konflik sedikit banyak akan mempengaruhi keadaan psikologis yakni berupa skeptisme dan nilai-nilai toleransi keagamaan. Hal ini menjadi ruang penulis dan para penyuluh agama lainnya untuk menjelaskan ajaran Islam yang tidak hanya rahmatal lil muslimin melainkan juga sebagai rahmatal li’alamin. Masyarakat harus mendapatkan suplai jiwa dan raganya berupa kepastian mendapatkan pekerjaan dan terjamin keamanannya. Setelah itu, yang terpenting lagi adalah hak masyarakat mendapatkan bimbingan agama yang berkaitan dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana spirit Islam untuk menjaga ukhuwah persaudaraan baik hablum min Allah maupun hablum min an-nas. Beberapa kesempatan seperti dalam program bimbingan perkawinan, khutbah Jumat, dan majelis pengajian menjadi peluang untuk terus menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan, tanggung jawab kolektif, tidak saling memusuhi, dan mengutamakan pemaafan dan persaudaraan. Dengan demikian spirit ajaran Rasulullah mengenai kemanusian dapat dipraktikkan secara perlahan. Selain itu, memberikan pemahaman terhadap pentingnya pencatatan nikah, dimana hikmah kemanusiaan juga menjadi bagian dari peran kepenyuluhan, begitu juga dengan pencegahan nikah di bawah umur yang juga merupakan upaya menjaga nilai kemanusiaan, pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), dan pengabaian tanggung jawab dan kurangnya penghargaan terhadap hubungan perkawinan menjadi perhatian khusus penyuluh agama. Kasus-kasus tersebut kerapkali muncul dalam realitas masyarakat korban konflik.
Pada akhirnya, masyarakat dan anak korban konflik mesti terus menjadi perhatian bersama. Islam mengajarkan untuk mengambil ibrah dari masa lalu dan menatap masa depan dengan pikiran positif dan penuh kemuliaan. Para penyuluh mesti hadir memberikan kesejukan akan ajaran indahnya agama dalam menjaga hak asasi manusia. Menyelamatkan generasi muda sebagai agen kebaikan adalah modal untuk kebangkitan peradaban Islam ini, terus bergerak dan bersemangat memperjuangan nilai-nilai kemanusiaan dalam agama Islam yang mulia ini.